Nats :
Jawab Yesus kepada kedua anak itu, “Kamu tidak mengerti yang
kamu minta. Apakah kamu sanggup menerima penderitaan seperti yang
harus Kuterima?” Jawab mereka, “Ya, kami sanggup.”
~ Matius 20:22, VMD
Dalam suatu kesempatan, dua murid Yesus yang bersaudara yaitu Yakobus
dan Yohanes, datang menghampiri Yesus. Mereka datang bersama ibunya.
Secara khusus, ibu dari keluarga Zebedeus ini meminta supaya Yesus
memberikan suatu pernyataan yang memastikan bahwa kedua anaknya itu
akan duduk di sebelah kiri dan kanan Yesus, apabila Yesus kelak
memerintah sebagai raja. Dengan kata lain, sang ibu (yang kemungkinan
sebelumnya telah dibujuk oleh anak-anaknya itu) bermaksud meminta
posisi yang paling utama dan paling terhormat mendampingi Yesus
sebagai raja.
Yesus merespon kedua murid-Nya dengan pertanyaan yang sangat
menantang, "Kamu tidak mengerti yang kamu minta. Dapatkah kamu
minum cawan yang harus Kuminum?" Maksudnya, apakah mereka
sanggup bukan hanya untuk menerima kemuliaan dan kehormatan semata
tetapi juga membayar harga yang harus dibayar demi itu semua. Dan
jawaban mereka hampir-hampir spontan, "Ya kami bisa. Kami
sanggup menanggung dan membayar harganya."
Pertanyaannya, benarkah mereka sanggup membayar harga yang diminta
kepada mereka, lebih-lebih menanggung penderitaan seperti yang harus
ditanggung oleh Yesus?
Melihat akhir hidup Yakobus dan Yohanes, kita tahu bahwa mereka
menjadi rasul-rasul Kristus yang luar biasa. Yakobus ialah rasul
Kristus yang pertama sekali menjadi martir (Kisah Rasul 12:2)
sedangkan Yohanes, menjadi rasul yang menerima penyingkapan akhir
zaman, yang ditulisnya menjadi Kitab Wahyu. Ia sekaligus adalah rasul
terakhir yang dipanggil pulang ke rumah Bapa.
Benar, pada akhirnya mereka menjadi pengikut dan hamba Kristus yang
setia. Namun pada saat peristiwa di atas, mereka masih jauh dari
sanggup menunaikan tugas pelayanan mereka apalagi menanggung
penderitaan yang begitu hebat karena menjadi saksi dan hamba Kristus.
Pernyataan kesanggupan mereka sesungguhnya tidak berdasar kenyataan.
Mereka hanya mengaku-ngaku saja bahwa mereka mampu. Faktanya, mereka
turut melarikan diri pada saat Yesus ditangkap dan disalibkan.
Dari sini kita dapat belajar bahwa:
Banyak orang pada mulanya merasa sanggup hingga membuat janji dan
berikrar bahwa mereka akan mengikut Yesus dengan setia hingga saat
terakhir, namun nyatanya hanya sedikit yang bertahan hingga saat-saat
terakhir
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang sulit menilai dirinya
sendiri. Ketika itu terkait dengan diri mereka sendiri, kebanyakan
akan selalu terjatuh dalam berbagai ekstrim. Entah menilai dirinya
terlalu tinggi, lalu menjadi sangat percaya diri dan sombong atau
sebaliknya, dalam keadaan tertekan, ia menilai dirinya begitu rendah
sampai-sampai memandang dirinya tidak lagi berharga. Ini semua karena
kegagalan menilai diri ditambah kebohongan-kebohongan yang
disampaikan oleh kuasa gelap untuk membawa manusia keluar dari citra
diri yang benar sesuai dengan yang diciptakan Tuhan.
Ini sepertinya turut terbawa dalam hal mengikut Kristus. Banyak yang
merasa mampu untuk menjadi murid Kristus. Mereka datang dengan
berurai air mata pertobatan di depan altar call dan berjanji untuk
menyerahkan hidup pada Yesus Kristus untuk menjadi muridNya, masuk
dalam hidup yang baru, yang penuh pengharapan akan kemuliaan sorgawi
nan kekal. Sayangnya, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa itu tidak
semanis dan semengharukan momen-momen pertobatan dalam acara KKR-KKR
yang besar itu. Hingga kini, faktanya sangat sedikit yang bertahan,
bertumbuh apalagi berbuah-buah dalam hidup rohaninya. Malahan, tak
sedikit yang menjadi hamba Tuhan pun perlahan-lahan namun pasti ikut
menyimpang dari komitmen semula untuk hidup dan mengabdi semata-mata
pada Tuhan.
Semua ini terjadi karena banyak yang tidak menyadari maupun menyangka
seberapa besar harga mengikut Yesus. Mereka tidak mencari tahu lebih
dahulu apa yang harus mereka korbankan dalam hal mengikut Kristus.
Mereka beranggapan tanpa dasar bahwa mereka cukup kuat untuk
mengiring Yesus, padahal jauh di dalam hati, yang mereka inginkan
sebenarnya bukan membayar harga namun mendapatkan pengakuan dan
penghormatan serta mencari posisi yang dapat dibanggakan dalam
Kerajaan Allah.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin dengan motif mementingkan diri dan
mengamankan posisinya semacam ini, seseorang dapat membayar harga
dengan melepaskan segala egoismenya bahkan segala sesuatunya demi
mengikut Tuhan?
Tidakkah ini serupa dengan anak-anak belasan tahun yang sedang
dimabuk cinta dan ingin segera menikah dengan kekasihnya? Yang tanpa
berpikir panjang, mereka merasa mampu membentuk keluarga dan mengurus
rumah tangga? Dimana pada kenyataannya kemudian, mereka segera
terkejut dan tergoncang sebab tidak sedikit penderitaan, kesukaran
dan penderitaan yang harus mereka tanggung karena itu, termasuk
bubarnya perkawinan mereka karena kegagalan memandang diri mereka
sebagaimana adanya sebagai orang-orang yang belum siap dan cukup
dewasa menanggung beban keluarga.
Itu sebabnya sewaktu ada orang yang berkata kepada Yesus bahwa ia
akan mengikuti Yesus kemanapun Ia pergi, Yesus menjawab, "Serigala
mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia
tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Matius 8:20),
yang maksudnya tidak lain adalah jika mengikut Yesus harus siap
menderita karena penolakan yang besar dari dunia ini. Dan inilah yang
harus kita pertanyakan saat kita mengklaim diri kita sebagai pengikut
Yesus: apakah kita bersedia menderita bagi Dia ataukah kita masih
mencari penerimaan dan kenyamanan dari dunia ini? Jika belum bisa
menjawab pertanyaan ini dengan pertimbangan serta kesadaran penuh
dalam hati, maka janganlah kita merasa diri kita telah menjadi murid
Kristus yang sesungguhnya.
Yesus memanggil kita menyerahkan diri dan hidup kita Nya secara total
atau tidak sama sekali. Yang belum bersedia untuk ini, belumlah layak
disebut sebagai murid Kristus.
Kita tidak dapat menjadi pengikut Yesus berdasarkan emosi yang
meluap-luap atau kepercayaan yang besar pada diri kita sendiri
Contoh terbaik mengenai hal ini adalah Simon Petrus. Emosinya
seringkali tak tertahan, sehingga ia kerap kali menjadi yang terdepan
dalam memberikan jawaban maupun komentar pada Yesus. Begitu pula
dengan kepercayaan dirinya yang besar. Ia begitu percaya dirinya,
sampai-sampai kerap terlihat sangat berlebihan dalam bersikap dan
bertingkah laku di di depan Yesus dan murid-murid yang lain. Semula
itu seperti menunjukkan bahwa Petrus adalah murid yang paling
sungguh-sungguh, paling setia dan tentunya paling berani di antara
yang lain. Namun kita tahu dari Alkitab, bagaimana dan seperti apa
seorang Petrus ketika dihadapkan pada keadaan yang menekan dan
menuntutnya mengorbankan harga diri dan keamanannya. Bukankah justru
murid yang tampak paling depan dan bersemangat ini yang kemudian
menyangkal dan menolak mengaku Yesus sebagai gurunya hingga tiga kali
banyaknya?
Takdir semacam itu pula yang menanti orang-orang yang mengikut Yesus
dengan bermodalkan emosi dari jiwanya, mengikuti semangat
manusiawinya maupun mendasarkan diri pada keyakinan akan kemampuan
dirinya. Mengikuti Yesus dengan cara seperti ini akan berujung pada
penyangkalan akan Dia. Mereka yang mengandalkan kekuatan diri mereka
untuk melayani Tuhan akan segera jatuh kedalam penyimpangan yang
menuju pada pemurtadan, di mana seolah-olah mereka masih mengikuti
Yesus namun dalam hidup mereka secara pribadi, mereka menunjukkan hal
yang sebaliknya. Yesus hanya sekedar pemanis bibir dan topeng agama
serta pelayanan belaka namun hidup mereka jelas jauh berbeda dari
gaya hidup Kristus sendiri.
Terbukti tidak sedikit orang Kristen yang hidup hanya demi
kenyamanan, kesenangan dan keberhasilan selama di dunia ini saja.
Yang hidupnya jauh berbeda dari hidup Yesus, yang datang ke dunia
menyelesaikan misi Bapa dan melayani orang banyak bagi kemuliaan
Allah. Mereka bahkan berusaha seminimal mungkin membayar harga
mengikut Yesus, yang sering kali disempitkan sebagai sekedar
menunaikan kewajiban beribadah di gereja seminggu sekali atau
menunaikan pelayanan-pelayanan sosial namun tanpa mengalami perubahan
karakter dan gaya hidup, termasuk tidak pernah benar-benar memahami
apa tujuan hidup dan kehendak Tuhan secara pribadi sebagai anggota
tubuh Kristus.
Mengikut Tuhan tidak seharusnya dilakukan karena dorongan-dorongan
emosi di dalam hati kita seperti karena ketakutan, kekhawatiran
hidup, sensasi perasaan dikasihi dan diterima, atau rasa sungkan dan
tidak enak di hati karena dianggap tidak rohani atau tidak pernah
beribadah di gereja, dan lain sebagainya.
Mengikut Yesus lahir dari sebuah komitmen yang kuat bahwa tidak
ada yang layak kita ikuti, layani, sembah dan puja dalam hidup ini
selain Yesus Kristus Tuhan. Bahwa tidak ada yang lebih indah,
lebih manis, dan lebih baik daripada mengabadikan hidup
sepenuh-penuhnya di atas mezbahNya sebagai persembahan yang hidup,
yang kudus dan yang berkenan di hadapanNya. Inilah keputusan yang
kita ambil secara sadar setelah menghitung seluruh harga yang harus
kita bayar dalam mengikut Tuhan (Lukas 14: 28-33). Suatu keputusan
yang kita ambil dengan matang dengan didasarkan kepada pengalaman
sebelumnya bersama Tuhan serta peneguhan oleh Roh Kudus yang
meyakinkan kita bahwa seberapa pun senangnya mengikuti jalan-jalan
dunia ini, masih jauh lebih menderita daripada seberat-beratnya
mengikut Kristus. Dan seberapa pun keuntungan dunia yang kita
peroleh, masih jauh lebih beruntung dan mulia untuk mengenal Kristus
(Filipi 1:21, 3:7-8)!
Jika kita berpikir bahwa kita sanggup menjadi murid Kristus,
kemungkinan besar kita belum sampai pada kesanggupan yang
sesungguhnya
Salah satu jebakan terbesar dalam berhubungan dengan Tuhan ialah
pikiran bahwa kita mampu menyenangkan hati Tuhan dengan perbuatan dan
persembahan yang lahir dari hati dan pikiran kita sendiri yang belum
diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Jika kita belum mengasihi Dia
dengan segala ketulusan di segenap hati kita, maka manusia lama dan
kedagingan kita masih akan turut berperan mempengaruhi bagaimana kita
akan melayani dan menyukakan Tuhan. Inilah yang terjadi dengan
persembahan Kain. Yang menyangka bahwa persembahan terbaik dari hasil
tanah dan profesinya itu akan mendapatkan perkenan dan pujian dari
Tuhan. Kejatuhan yang sama dialami oleh Saul yang memilih untuk tidak
mentaati Tuhan sewaktu diperintahkan memusnahkan orang Amalek, namun
ia menyisakan ternak-ternak yang tambun serta raja Amalek sebagai
trofi kemenangannya. Yerobeam, raja 10 suku Israel, pun memikirkan
yang sama. Alih-alih mencari hati Tuhan, ia membuat ibadah sendiri
yang disebutnya sama nilainya dengan beribadah kepada Yahweh di
Yerusalem.
Jika kita ingin memperkenan Tuhan dengan cara dan pikiran kita
sendiri, maka pastilah kita akan gagal. Jika manusia memiliki
preferensi, dan tidak akan disenangkan oleh setiap hadiah yang
diberikan kepadanya, betapa Tuhan yang sempurna itu memiliki
kesukaanNya sendiri, yang hanya akan diberitahukanNya kepada mereka
yang sungguh-sungguh rindu menyenangkan hatiNya, bukan bagi mereka
yang ingin sekedar memuaskan egonya mencari pembenaran Tuhan atau
pujian dari manusia.
Kita harus merasa tidak mampu dan terus bergantung kepada Tuhan untuk
memberikan persembahan yang tepat menyukakan hati-Nya. Seperti Daud
yang rindu membangun rumah bagi Tuhan namun menerima dengan ikhlas
dan taat ketika diberitahu bahwa bukan dirinya yang akan membangun
bait yang megah itu.
Tanpa bergantung kepada Tuhan dan mencari tahu isi hati-Nya, kita
segera akan menjadi orang-orang yang merasa telah mencapai ukuran
Tuhan padahal sebenarnya kita belum mencapainya. Sikap merasa tahu
dan mampu melayani Tuhan dengan cara yang kita pikir terbaik menurut
kita, akan membawa kita kepada sikap hati yang semakin keliru dan
menyimpang di hadapan Tuhan di mana kita mendesak dan memaksa Tuhan
menerima persembahan kita atau kita menyombongkan diri dengan
mengklaim bahwa kita telah cukup dan sanggup menyenangkan hati Tuhan
melalui program-program kita sendiri. Tanpa sadar, kita berusaha
membeli perkenan Tuhan dengan kesalehan-kesalehan kita sendiri,
persis seperti orang Farisi yang membanggakan gaya hidupnya yang taat
pada aturan agama dan menyangka Tuhan pasti berkenan kepadanya (Lukas
18: 10-14).
Kita harus berhati-hati saat kita merasa sanggup untuk berkenan pada
Tuhan, sebab pada saat itulah titik kelemahan kita yang akan membuat
kita tergelincir jatuh, di mana kita mulai meninggikan diri kita
lebih daripada karya Tuhan di dalam hidup kita (1 Korintus 10:12).
Apabila kita sanggup, biarlah kesanggupan kita berasal dari
kesanggupan Tuhan
Ketika Yesus menyampaikan betapa mahalnya harga mengikut Dia, Ia
bukan sedang mempersulit orang untuk menjadi murid-Nya. Yesus
sebenarnya sedang menyampaikan bahwa untuk mengikuti Dia, kita tidak
akan pernah mampu atau sanggup melakukannya dengan kekuatan kita
sendiri sebagai manusia. Perjalanan mengiring Yesus pasti melampaui
berbagai kesulitan. Itu sebabnya digambarkan seperti melewati pintu
yang sesak dan jalan yang sempit, seperti susah payahnya memikul
salib, dan seperti berbahayanya domba yang ada di tengah-tengah
serigala. Belum lagi begitu banyak yang akan membebani dan
menghalangi kita untuk secara total hidup bagiNya, termasuk hal-hal
yang paling kita cintai di dunia ini seperti pasangan hidup, orang
tua, anak-anak, sanak saudara, harta kita hingga nyawa kita sendiri.
Mustahil dengan kekuatan dan kemampuan yang ada pada kita menunaikan
panggilan berat ini. Itu sebabnya kita harus berpaling kepada Tuhan,
untuk mendapatkan pencerahan, kekuatan, hikmat, bimbingan, kuasa, dan
kasih karunia yang diperlukan untuk mampu bertahan hingga akhir
bahkan menunaikan panggilan kita dalam hidup sebagaimana yang di
teladankan oleh Kristus.
Dalam 2 Korintus 4:7, Paulus mengatakan:
Tetapi harta ini (yaitu pelayanan kerasulan yang dipercayakan
kepadanya) kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa
kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri
kami
Sesungguhnya itulah rahasia keberhasilan Paulus salah satu hamba
Tuhan paling berdampak dalam sejarah kekristenan. Ia meneladani
Gurunya dengan melayani seturut kehendak pimpinan serta kekuatan Roh
Kudus yang menyertai dan berdiam di dalam dirinya, bukan dengan cara
dan kemauannya sendiri. Ia belajar menjadi kuat dalam kekuatan kuasa
Tuhan sekalipun dalam keadaan lemah. Dan kepada kasih karunia dan
kuat kuasa Tuhan sajalah ia bersandar selagi sepanjang hidupnya
bekerja menunaikan panggilan Tuhan dalam hidupnya (Efesus 6:10; 2
Korintus 12: 7-10; 1 Korintus 15:10).
Bagi Paulus, hidupnya telah diserahkan sepenuhnya dalam kendali
tangan Tuhan. ”Hidupku bukannya aku lagi” tulisnya. Itu artinya
kuasa Tuhan sajalah yang bekerja dalam hidup dan pelayanannya
sehingga ia dimampukan menyelesaikan tugas pelayanannya hingga akhir
(2 Timotius 4:6-8) serta memberikan warisan rohani yang tiada taranya
bagi umat Tuhan di segala zaman.
Paulus menjadi raksasa rohani karena ia memusatkan hidupnya bukan
pada kekuatannya pribadi. Ia memandang kepada Tuhan yang tidak
kelihatan secara jasmani dan mendapatkan kekuatan yang baru setiap
hari sehingga sekalipun manusia lahiriah makin merosot, manusia
batiniahnya terus bertumbuh dan semakin perkasa di dalam Tuhan. Itu
sebabnya ia tidak pernah menyerah, berputus asa maupun tawar hatinya.
Penderitaan yang dialaminya yang mungkin tak akan pernah dapat kita
bayangkan ataupun tanggung dipandangnya ringan belaka. Semua karena
Paulus menerima dan bergerak dalam kerja kasih karunia dan kuasa
Tuhan dalam hidupnya saat hamba Tuhan ini berkomitmen sepenuhnya
untuk hidup bagi Tuhannya.
Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah
kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui
dari sehari ke sehari.
Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini,
mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi
segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.
Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan
yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah
sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.
~ 2 Korintus 4:16-18
Demikianlah setiap orang yang mampu mencapai tingkat-tingkat
tertinggi dan terakhir dalam mengikut Tuhan. Mereka mengandalkan
Tuhan yang akan menuntun, menyertai, menguatkan, meneguhkan, dan
menopang mereka hingga saat terakhir. Tanpa disadari, mereka menjadi
besar diantara manusia dan mendapat perkenan yang besar dari Tuhan.
“Kemurahan-Mu membuat aku besar” kata Daud yang telah membuktikan
semuanya sejak ia menjatuhkan Goliath di masa mudanya.
Akankah itu menjadi pengalaman Anda juga?
Salam revival
Indonesia penuh kemuliaan Tuhan
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon TIDAK menggunakan kata-kata kotor atau kasar yang tidak memuliakan nama Tuhan. Terima kasih atas perhatiannya. Salam Revival!
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.