Oleh: Peter B, MA
Sabtu, 3 November 2018, tujuh belas
menit sebelum pukul 10 malam, menjadi saat yang tak akan terlupakan seumur
hidup saya. Mama yang sangat saya cintai berpulang ke rumah Bapa di sorga.
Setelah tiga hari menjalani rawat
inap untuk transfusi darah, begitu cepat kondisinya menurun. Dan merupakan
suatu kasih karunia dari Tuhan jika kami, suami dan anak-anak dan
menantu-menantunya sempat mendampinginya di pembaringan terakhirnya.
Kepergian mama meninggalkan
kenangan yang tak terhapuskan seumur hidup. Bagi saya, mama adalah salah
seorang yang memegang peranan paling penting dalam hidup saya. Saya tidak
pernah malu disebut sebagai anak mama. Betapa tidak, saya telah bersamanya
selama hampir 44 tahun. Dari sejak dilahirkan, tumbuh sebagai balita yang nakal
dan sukar dikendalikan sampai masuk sekolah.
Mama pula orang pertama yang membawa saya ke Sekolah Minggu. Juga dari
sejak kuliah, bekerja, menikah, mengambil studi theologia, sampai menjadi hamba
Tuhan sekarang ini, mama selalu ada di samping saya. Ia menjadi pendukung dan
penyemangat bagi saya. Kehadiran dan sentuhan mama seperti perpanjangan tangan
Tuhan memelihara, mengasuh, menjaga, membela dan mendidik saya. Selagi papa
sibuk di luar rumah mencari penghidupan, mama menjadi pengajar, pendidik,
pendisiplin, perawat, pengurus dan penjaga kami, anak-anaknya.
Kegemaran saya membaca diturunkan
dari mama. Demikian pula kesukaan saya untuk menyanyi, bermain musik atau
hal-hal lain yang berjiwa seni, bermula dari kebiasaan menyanyi sehari-hari
bersama mama. Sebagaimana mama pertama kali membawa saya pertama kali mendengar
nama Yesus dengan membawa saya ke Sekolah Minggu, mama pula yang mendukung saya
melanjutkan studi theologia.
Di tahun-tahun terakhir hidupnya,
mama semakin ikhlas saya menjadi hamba Tuhan, untuk menempuh panggilan Tuhan
dalam hidup ini. Di tahun-tahun ini pula, nama saya benar-benar disebutkan
secara tetap setiap hari dalam doa-doanya.
Mama saya bukanlah figur besar. Ia
hidup untuk menjadi pengurus rumah tangga dan mengabdikan hidupnya membesarkan
ketiga anak laki-lakinya. Tapi ia melakukannya dengan segala kesungguhan dan
kesetiaan, dengan apa saja yang ia mampu lakukan.
Ia juga bukan seorang raksasa
rohani. Tetapi di sepuluh tahun terakhir hidupnya, ia mengarahkan diri kepada
Tuhan dan belajar berserah penuh kepada-Nya. Kepergiannya menjadi suatu catatan
dan teladan tersendiri mengenai akhir hidup seseorang yang mati di dalam Tuhan.
MENDAPAT PERPANJANGAN WAKTU
Sekitar sepuluh tahun yang lalu,
mama sudah pernah menghadapi ajal. Dalam kondisi koma, kami sekeluarga sudah
diminta mempersiapkan mental untuk kehilangan mama. Dalam usia yang masih tiga
tahun lagi mencapai 60 tahun. Saat itu saya dan keluarga yang lain berdoa pada
Tuhan. Mengharapkan Tuhan berkasih karunia, kami minta Tuhan memberikan
kesempatan bagi kami lebih lama bersama mama.
Selisih satu atau dua hari, Didit
rekan pelayanan saya yang memiliki karunia profetik menyampaikan pesan dari
Tuhan bahwa mama saya mendapat perpanjangan umur dari Tuhan. Ada tugas yang
belum selesai yang harus mama lakukan sebelum Tuhan panggil pulang
selamanya. Saya tidak mendengar
persisnya berapa tahun yang Tuhan berikan (meskipun ada yang mengaku mendengar
sepuluh tahun). Dan yang luar biasa, beberap hari kemudian mama pulih dan
pulang ke rumah.
SEPULUH TAHUN PEMULIHAN ROHANI
Kesehatan fisik mama sebenarnya
tidak pernah pulih seperti sedia kala. Organ-organ tubuh bagian dalamnya terus
mengalami penurunan fungsi. Meski begitu, mama masih sempat melakukan berbagai
aktifitas. Bepergian. Belajar main drum untuk melatih fisiknya. Berbelanja ke
pusat-pusat perbelanjaan dan dalam berbagai kesempatan masih menikmati berbagai
jenis kuliner, meski itu dinikmatinya secara terbatas.
Namun yang paling menggembirakan
hati saya ialah pertumbuhan imannya. Dalam setiap permasalahan yang terjadi dan
harus dihadapinya, baik secara pribadi (seringkali terkait kelemahan²
fisiknya), dengan suami, dengan anak menantu dan keluarga besar lainnya, mama
menghadapinya dengan cara yang berbeda. Cara yang belum pernah ia gunakan
sebelumnya. Dalam segala keterbatasannya, langkah-langkah kecil imannya adalah
membuang segala kepahitan, mengampuni dan mengampuni lagi siapapun yang
menyakiti dan mengecewakan hatinya, membiasakan diri menolak segala ketakutan
dan kekuatiran di hati, mengandalkan Tuhan dan berharap pada Tuhan di setiap
situasi dan yang terutama di antara semuanya, belajar menyerahkan segala
sesuatunya pada Tuhan serta menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan dengan mengambil
waktu-waktu untuk berdoa. Sesuatu yang sebelumnya sangat jarang dilakukannya.
Saya sendirilah yang menyaksikan
iman mama bertumbuh. Di setiap keadaan, meski tampak jatuh bangun, mama selalu
percaya kuasa dan kasih Tuhan. Saya tidak sempat menghitung berapa kali mama
jatuh karena tersandung, terpeleset atau terbentur, juga berapa kali kondisinya
menurun karena gula darah yang tidak stabil dan gangguan pada fungsi
ginjalnya. Fisiknya memang sudah tak kuat lagi banyak berkegiatan apalagi yang
membutuhkan kekuatan tubuh.
Mama yang sedari muda sibuk dengan
berbagai kegiatan di sekolah, sempat bekerja sebagai guru dan pembuat baju,
mencoba beberapa usaha kecil-kecilan di rumah, yang di pertengahan usianya
sangat aktif dalam pelayanan gereja kini hanya mampu sebentar-sebentar saja
berjalan-jalan keluar rumah. Meski demikian, ia menyambut setiap masukan firman
Tuhan yang saya sering sampaikan saat be: cakap-cakap dengannya. Yaitu supaya
tidak menjadi lemah dan putus asa menghadapi penurunan kondisi jasmaninya.
Dalam keterbatasan fisiknya,
sesungguhnya mama tidak pernah kehilangan keceriaannya. Sifat yang tidak
berubah dari dulu. Bahkan menurut saya lebih lagi. Dalam kondisinya yang terus
menurun, ia masih ramah kepada semua orang. Lebih menghindari pertentangan atau
konflik. Sebaliknya, tetap rajin dan bersemangat untuk menjalin hubungan baik
dengan semua orang. Ketika aplikasi komunikasi BBM dan Whatsapp mulai populer
dan dipakai dimana-mana, mama saya termasuk yang pertama di antara kedua orang
tua kami membuka diri untuk belajar sesuatu yang baru ini, sesuatu yang tak
pernah ditemui pada zamannya. Sesuatu yang sebenarnya tidak mudah dipelajari
mengingat menggunakan komputer sederhana saja mama tidak mampu. Melalui BBM,
hubungannya kian luas. Saudara dan teman yang belum terjangkau terhubung
kembali dengannya. Tidak terkecuali ketika mama saya ajak bergabung dalam grup
Whatspp pelayanan tim kami sekitar awal tahun 2017. Mama menyambut baik dan
dengan penuh sukacita menikmati berkat-berkat rohani lebih banyak lagi dari
situ. Dan seperti sebelumnya, mama memiliki teman-teman baru dari segala
kalangan dan usia. Ibu Tini Jayadi dan Ibu Rut Yanti (admin grup WA) merupakan
rekan-rekan yang dikenalnya dari media sosial yang kemudian menjalin hubungan
lebih dekat dengan mama.
Saya yakin, di sepuluh tahun
terakhir hidupnya, mama telah jauh lebih terhubung dengan Tuhan. Meski
seringkali bimbang dan goyah hatinya menghadapi berbagai persoalan, khususnya
masalah keluarga dan kesehatannya, mama kembali memantapkan hatinya berserah
pada Tuhan. Beberapa kali mama bermimpi, yang saya percaya berasal dari Tuhan,
yang menunjukkan betapa Tuhan terus berusaha berkomunikasi dengan mama di tiap
pergumulannya sehari-hari. Mimpi-mimpi yang diterima mama, jika saya dalami,
menyiratkan pesan-pesan yang intinya sama: mama harus menaruh pengharapan, rasa
aman, dan menyandarkan hidup SEMATA-MATA pada Tuhan. Bukan pada suami, pada
anak, atau pada materi. Tuhan telah menarik mama mendekat pada-Nya. Dan mama
menyediakan hatinya untuk mencari Tuhan dan mengandalkan Dia saja dalam segala
hal.
Bagi kami, anak-anaknya, mama
merupakan figur pemersatu kami. Itu semakin nyata dalam sepuluh tahun terakhir
hidupnya. Setiap hari ia menghubungi kami untuk sekedar menanyakan kabar kami,
keluarga kami dan urusan-urusan kami. Melalui mama juga kami mendengar kabar
seluruh keluarga bahkan kabar famili-famili dalam keluarga besar kami. Kami
jadi tahu keadaan masing-masing saudara dengan segala pergumulan hidupnya
melalui mama, yang secara tidak langsung menjadi tempat kami berbagi beban dan
mencurahkan isi hati. Tidak banyak nasihat rohani yang mama berikan namun
kehadirannya dan kepeduliannya kepada kami disertai ekspresi-ekspresi
sepenanggungan dengan kami mengguratkan kesan yang dalam. Saya, yang sering
membagikan pesan-pesan rohani kepadanya pun, masih sering diberkati dengan
celetukan dan pengalaman kehidupan sehari-hari yang dikisahkannya secara lucu
kepada saya. Pendeknya, mama saya adalah pribadi pendamai yang lebih suka
memelihara dan mempererat hubungan-hubungan daripada merenggangkannya.
NUBUATAN DI AWAL 2018
Memasuki akhir tahun 2017, saya
sekeluarga dan mama sempat berlibur ke kota Batu. Tidak disangka itu merupakan
liburan terkahir saya dengan dia.
Sepulang dari Batu, awal Januari
2018, mama kembali jatuh sakit. Kekurangan Natrium dan Kalium. Harus rawat
inap. Untuk kesekian kalinya. Saya melihat kondisi mama sudah kepayahan.
Badannya semakin kurus dan tampak mengering. Saya meminta bantuan doa kepada
rekan-rekan terkasih dalam Tuhan. Dari rekan Didit kembali ada pesan nubuatan
tentang mama saya. Intinya waktu perpanjangan dari Tuhan sudah tiba pada
akhirnya. Tidak ada tambahan tahun lagi untuk mama. Saya harus bersiap untuk
kepergian mama ke sorga. Sehari dua hari setelah mendengar kabar itu, saya mengunjungi
mama di rumah sakit. Saya mengambil gambar dan videonya tanpa sepengetahuannya.
Saya pikir ini mungkin akan menjadi dokumentasi terakhir mama sebelum semuanya
berakhir.
Namun kehendak Tuhan dan waktu
Tuhan tidak selalu sama seperti yang kita pikirkan. Masih Tuhan berikan sepuluh
bulan lagi untuk bersama-sama dengan mama. Masih sempat kami mendorongnya
dengan duduk di kursi roda untuk berjalan-jalan atau makan di mall. Masih
sempat pula mama menyampaikan keinginannya untuk tinggal bersama saya untuk seterusnya
setelah beberapa bulan sebelumnya mama pernah beberapa minggu dirawat di rumah
saya. Saya sebenarnya sangat terharu mendengarnya. Sayangnya kamar di rumah
saya masih kurang untuk ditinggali keluarga saya plus mama. Itu pula salah satu
alasan saya dan istri merenovasi rumah kami. Kerinduan mama ditambah kebutuhan
akan ruangan bagi keluarga dan pelayanan membuat kami datang pada Tuhan untuk
minta bimbingan-Nya apakah tepat dan benar apabila kami melakukan renovasi atas
rumah kami yang tidak seberapa besar ini. Ini bukan perkara mudah dan ringan
mengingat saya seorang hamba Tuhan yang hidup dengan iman, tidak membina sidang
jemaat dan tidak memiliki donatur tetap sama sekali. Seluruh kebutuhan hidup
dan pelayanan kami Tuhan cukupi secara ajaib sebagian besar dari bisnis yang
pernah kami rintis sebelumnya, yang kini dijalankan istri saya. Uang sekitar
250 juta bukan nilai yang kecil bagi kami. Namun kemudian kami diteguhkan dari
hasil doa kami dan pesan-pesan profetik yang diberikan bagi kami bahwa memang
inilah waktu Tuhan. Melalui pembangunan ini, Tuhan memproses kami naik ke
tingkatan imam yang lebih tinggi lagi. Dan itu dimulai dengan suatu lompatan
iman untuk memulai semuanya ini.
Pembangunan rumah kami dimulai
sekitar Maret 2018. Hingga kini belum selesai. Namun kami yakin, Tuhan telah
berjanji, Ia masih terus meneguhkan janji-Nya, Ia pula yang akan menggenapinya
sampai tuntas.
Belum selesainya rumah kami menjadi
penyesalan terbesar kami dalam kepergian mama karena belum sempat membawa mama
kami rawat bersama kami. Meski demikian, bulan-bulan terakhir mama menunjukkan
betapa ia tidak mau menjadi beban bagi anak-anaknya. Sedapat mungkin, dalam
kondisi yang sulit berjalan dan beraktifitas, mama selalu berusaha mandiri dan
tidak bergantung pada siapapun. Ia masih mama yang lebih suka memperhatikan
keluarganya daripada menuntut perhatian dari orang lain. Ia masih seorang
sahabat yang selalu ingin membagikan keramahan dan persaudaraan dengan
teman-temannya daripada menjadi pribadi yang mengharapkan perhatian dari orang
lain.
Ketika saya sampaikan bahwa rumah
kami belum selesai dipugar, mama menyatakan bahwa ia segan untuk menjadi beban
bagi saya maupun istri saya. Ia sedang memikirkan ulang apakah merupakan
keputusan yang baik untuk menghabiskan hari tua bersama keluarga saya.
Waktu berlalu dan saya semakin lupa
jika usia mama tidak akan lama. Sesekali saya mengingat hal itu tapi saya terus
meyakinkan diri saya kalau mama pasti akan sempat menjalani hari-hari terakhir
bersama kami dan mungkin akan dipanggil Tuhan di rumah saya, rumah yang
dipilihnya menjadi kediaman terakhirnya.
PERGI DENGAN DAMAI DAN INDAH
Sebulan setelah merayakan ulang
tahunnya ke-67, mama saya terjatuh saat diajak makan di sebuah mall di Surabaya
timur yang juga satu wilayah dengan tempat tinggal keluarga besar kami. Saat
itu memang mama dirawat di rumah adik saya, drg. Yohanes karena beberapa hari
sebelumnya mengalami vertigo. Semula papa yang menjaga mama, tapi kali ini papa
pun menjalani rawat inap di Rumah Sakit dan harus menjalani operasi besar.
Setelah jatuh, kedua tangan mama
tidak dapat digerakkan. Lututnya pun turut memar. Praktis mama tidak berdaya.
Bergantung pada orang lain untuk merawatnya. Terlihat kondisinya makin lemah.
Esoknya mama dibawa ke dokter untuk melakukan foto rontgen kedua tangannya.
Siku kirinya retak dan bahu kanannya lepas dari tempatnya (yang adalah kejadian
kedua setelah beberapa bulan lalu sempat lepas dan dikembalikan oleh dokter).
Harus operasi, kata dokter. Namun kemudian tidak ada dokter yang berani
mengambil tindakan karena kadar hemoglobin (sel darah merah) mama yang sangat
rendah. Lagipula berisiko untuk melakukan operasi karena obat bius yang akan
sukar dibuang oleh tubuh akibat ginjal yang tampaknya juga tidak berfungsi
lagi, begitu kata dokter.
Kami sekeluarga sepakat membawa
mama ke sinshe. Untuk diobati secara tradisional saja tanpa harus melalui
prosedur pembedahan. Saya sendiri yang mengantarkan mama periksa ke sinshe yang
direkomendasikan adik mama. Mama harus digendong naik turun mobil untuk periksa
ke sana. Puji Tuhan, saya diberikan kesempatan melayani mama dan memenuhi janji
saya untuk menggendong mama jika ia tidak. kuat lagi berjalan, beberapa minggu
sebelumnya. Sehari sebelum mama masuk Rumah Sakit, saya menemani mama siang dan
sore harinya di tempat sinshe. Hari itu, lain dari biasanya saya melihat
wajahnya tampak begitu damai, tenang, tenteram, seolah tanpa beban sama sekali
walaupun tubuhnya tak bisa banyak digerakkan.
Malam harinya, mama minta dibawa ke
UGD karena tidak bisa kencing. Saya menyarankan menunggu sampai besok pagi
karena sudah cukup lelah hari itu. Tapi mama tetap berangkat dini hari, pukul 2
pagi diantar adik ipar saya. Di UGD, mama dipasangi kateter dan sepertinya
sudah normal kembali. Sayangnya, pukul 8 pagi lagi-lagi mama tidak bisa kencing
lagi dan minta kembali diantar ke UGD. Dari situ mama diharuskan transfusi
darah untuk kemudian kemungkinan harus cuci darah.
Dua hari dirawat inap, hari Kamis
dan Jumat, tanggal 1 dan 2 November, saya curiga kondisi mama memburuk.
Bicaranya semakin kurang jelas. Seperti orang yang terkena stroke. Tapi mama
mengaku semuanya baik-baik saja, yang dibuktikan dari sikap dan responnya yang
tenang, damai tanpa kekuatiran sama sekali.
Siang hari, 3 November 2018, saya
yang belum sempat ke rumah sakit karena harus membelikan beberapa keperluan
untuk papa yang juga masih opname untuk pemulihan pasca operasi, dikabari jika
mama masuk ICU. Malam sebelumnya, menurut penjaga mama di Rumah Sakit, sebelum
kondisinya semakin tidak sadarkan diri, mama sempat memanggil-manggil nama saya
berulang kali. Pagi harinya sebelum masuk ke ICU, ia sempat pula memanggil nama
salah satu ipar saya. Ia berkata ingin pulang hari itu. Itulah kata-kata
terakhirnya: ia ingin pulang hari itu.
Menjelang malam, kami semua datang
ke ICU. Di samping tempat tidur dimana ia dibantu dengan alat-alat bantu
pernafasan untuk bertahan hidup. Saya menelepon khusus rekan seperjuangan saya
di ladang Tuhan, Didit untuk turut mendoakan mama saya.
Sementara adik-adik saya berurai
air mata bergantian berbisik di telinganya, saya mengambil waktu untuk berdoa
di ruang tunggu ICU. Mohon kasih karunia Tuhan supaya mama lebih lama
bersama-sama dengan kami semua. Tidak lama, saya mendapat kesan yang sangat
kuat di hati. Tuhan sepertinya berbicara, "Aku bisa memperpanjang umur
mamamu, tapi pilihlah hari ini. Akankah dia mendapat perpanjangan usia tetapi
hidup dalam kelemahan dan penderitaan dan menjadi beban yang membuat orang-oran
di sekitarnya mengalami masa-masa yang sulit beberapa waktu ke depan? Atau kamu
merelakan dia bersama-sama dengan Aku, bahagia dan senang, lepas dari segala
derita dan rasa sakit?"
Saya tidak bisa memilih. Keduanya
pilihan yang tidak menyenangkan. Saya lalu menjawab dalam doa, "Tuhan,
Sahabatku yang Agung, yang tahu selama segala sesuatu dan tahu yang terbaik
bagi hamba-hamba-Mu. Pilihkanlah yang terbaik bagi hamba-Mu ini, bagi keluarga
hamba-Mu dan tentunya bagi mama." Kemudian terasa hening. Saya tahu Tuhan
akan menunjukkan keputusan-Nya tak lama lagi.
Tak lama, dari Didit, saya mendapat
informasi profetik bahwa mama berseru-seru dalam hatinya pada Tuhan. Ia
sampaikan bahwa ia telah capek dan lelah (karena kondisi tubuhnya yang lemah
dan sering bermasalah). Tiga kali seruan itu dinaikkan. Lalu Tuhan menyampaikan
pada mama untuk menyerahkan semua kepada-Nya.
Setelah berdoa, saya menghampiri
mama dan menyampaikan supaya mama berserah penuh pada Tuhan Yesus. Entah
kehendak Tuhan mama disembuhkan kembali atau mama bersama-sama dengan Tuhan,
tidak ada yang perlu ditakutkan. Bersama Tuhan semuanya akan baik dan
bahagia. Kami pun sebagai keluarganya
tidak perlu dikuatirkan sebab kami semua juga ada di tangan Tuhan.
Akhirnya kami semua, saya, istri saya
dan saudara-saudara beserta satu ipar saya, berkumpul di sekitar pembaringan
mama. Papa yang masih lemah dibawa dengan kursi roda untuk melihat kondisi
mama. Kami pun kemudian bersama-sama berdoa dan menyerahkan mama ke tangan
Tuhan. Selesai berdoa, begitu cepat, tanda-tanda kehidupan mama terus menurun.
Sekitar 3 menit kemudian, layar monitor di ruang ICU yang tersambung ke tubuh
mama tak lagi bereaksi. Nol. Dokter UGD dipanggil dan ia pun memastikan bahwa
mama telah tiada.
Tangis pun pecah. Kami terkejut dan
masih belum siap kehilangan orang yang kami kasihi. Tapi Tuhan telah
memutuskan. Setidaknya saya telah menyediakan diri untuk menerima keputusan
kehendak-Nya. Tuhan telah memutuskan. Saya harus percaya itu yang terbaik.
Belakangan, sewaktu di persemayaman
jenazah di malam-malam perkabungan, Didit menyampaikan kisah yang lain tentang
kepergian mama saya. Ia menyampaikan bahwa di detik-detik mama berpulang, ia
tak tawar menawar atau memiliki keberatan apapun untuk datang dan berserah pada
Tuhan. Saat Tuhan memanggilnya pulang, ia menyambut "Ya, Tuhan".
Didit menceritakan sesuai yang Tuhan tunjukkan kepadanya, mama mengambil
keputusan berserah juga karena ada seseorang (yang ia tidak tahu itu siapa)
yang membisikkan pada mama agar berserah kepada Tuhan karena bersama Tuhan
pasti penuh sejahtera.
Sesaat sebelum berangkat ke
pemakaman, Didit membagikan apa yang Tuhan tunjukkan padanya tentang mama saya.
Suatu kesan yang juga saya dapatkan dengan kuat dari Tuhan satu dua hari
setelah mama meninggal. Ia mendengar suara tawa penuh sukacita, suatu ledakan
kegembiraan seperti seseorang yang memperoleh apa yang diharapkan dan
dinantikannya begitu lama. Kemudian juga ada suara seorang yang bernyanyi
dengan sukacita. Melompat-lompat dalam kegirangan. Kata Tuhan, itu suara mama
saya. Di sorga sana, Tuhan menggenapi janji-Nya. Memberikan sukacita abadi yang
tak dapat dibandingkan dengan apapun, jauh melampaui segala susah payah di
dunia yang merupakan lembah air mata.
Ya, mama saya sudah tenang dan
senang bersama Bapa di sorga. Mengingat itu, saya pun tenteram. Suatu kali,
saya yang akan menyusul ke sana. Mengalami kegenapan janji Tuhan. Mengalami
kebahagiaan kekal bersama-sama dengan Tuhan dan saleh-saleh-Nya.
PENUTUP
Bagi saya, berpulangnya mama
merupakan suatu pengalaman yang indah. Suatu bukti dan kesaksian akan
meninggalnya seseorang yang di dalam Tuhan. Tuhan yang menentukan saatnya,
caranya dan kesempatannya. Oleh kasih karunia-Nya kami sekeluarga sempat
dikumpulkan melihat mama hidup terakhir kalinya.
Saat saya bersusah hati mengenang
kepergian mama, Tuhan selalu mengingatkan saya bahwa saya seharusnya bersyukur,
sebab sayalah yang beroleh kesempatan mengantarkan mama secara pribadi berjumpa
Tuhan. Mama kini menemukan kedamaian dan sukacita abadi, jauh lebih baik
daripada keadaannya selama hidup atau jika ia diberikan perpanjangan umur.
Dari berpulangnya mama, saya
mendapatkan pelajaran berharga, yang saya alami secara langsung.
Saya belajar bahwa kehilangan dan
penderitaan terbesar seorang pria di dunia ini ialah saat ia ditinggalkan
wanita, wanita yang sangat dicintai dan sekaligus sangat mencintainya.
Sesungguhnya, adalah wajib seorang
pria memperhatikan wanita-wanita yang mengasihinya, entah itu ibunya, istrinya
atau anak-anak perempuannya. Saat-saat indah bersama mereka mungkin tak akan
pernah tergantikan lagi ketika mereka tiada. Itu pasti akan menjadi kesedihan
yang mendalam. Yang tak mungkin dihiburkan selain oleh penghiburan Tuhan
sendiri.
Melalui peristiwa besar dalam hidup
saya ini, saya meyakini bahwa setiap kita yang dalam hidup maupun matinya penuh
penyerahan pada Tuhan, akan berpulang dengan damai, tenang, tanpa banyak
penderitaan dan rasa sakit di antara hidup dan mati. Suatu proses kematian yang
melegakan dan membangkitkan pengharapan bahwa di dalam Tuhan semuanya baik dan
indah adanya.
Pada sisi lain, saya tahu dan sangat yakin kini bahwa baik kehidupan maupun kematian seseorang yang di dalam Tuhan ada dalam tangan kekuasaan dan kedaulatan-Nya. Ia mengatur dan menetapkan yang terbaik bagi kekasih-kekasih-Nya. Dan bagi kita yang berpaut pada-Nya, kita selalu akan dapat bersyukur dan dipenuhi rasa terima kasih karena keputusan-Nya selalu merupakan pilihan terbaik di antara semua pilihan baik yang ada. Yang rela dan ikhlas menerima keputusan Tuhan memperoleh kelegaan yang besar.
Selamat jalan, mama.
Selamat berjumpa dengan Bapa
sorgawi.
Sampai kita bertemu lagi.
Dalam kebahagiaan.
Dari selama-lamanya sampai
selama-lamanya.
Selanjutnya kami tidak mau,
saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal,
supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai
pengharapan.
Karena jikalau kita percaya, bahwa
Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang
telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.
1 Tesalonika 4:13-14
Berharga di mata TUHAN kematian
semua orang yang dikasihi-Nya
Mazmur 116:15
Dan aku mendengar suara dari sorga
berkata: Tuliskan: "Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan,
sejak sekarang ini." "Sungguh," kata Roh, "supaya mereka
boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka
menyertai mereka."
Wahyu 14:13
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon TIDAK menggunakan kata-kata kotor atau kasar yang tidak memuliakan nama Tuhan. Terima kasih atas perhatiannya. Salam Revival!
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.