Oleh:
Peter B,
“LALU DATANG SEORANG SAMARIA, YANG SEDANG DALAM
PERJALANAN, KE TEMPAT ITU; DAN KETIKA IA MELIHAT ORANG ITU, TERGERAKLAH HATINYA
OLEH BELAS KASIHAN. IA PERGI KEPADANYA LALU MEMBALUT LUKA-LUKANYA, SESUDAH IA
MENYIRAMINYA DENGAN MINYAK DAN ANGGUR. KEMUDIAN IA MENAIKKAN ORANG ITU KE ATAS
KELEDAI TUNGGAGANNYA SENDIRI LALU MEMBAWANYA KE TEMPAT PENGINAPAN DAN
MERAWATNYA” (LUKAS 10:33-34)
Yohanes menyebut
Mereka, “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:8). KepribadianNya diliputi oleh
kasih dan kasih adalah sifat dasar dari keberadaanNya. Itulah sebabnya Tuhan
sangat menentang dengan tanpa kompromi mereka yang hidup dalam kebencian dan
sikap yang tidak mau mengampuni. FirmanNya jelas bagi kita, “Karena jikalau
kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu di sorga akan mengampuni kamu juga.
Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu” (Matius 6:14-15). Sesungguhnya Ia adalah Allah yang suka akan
pengampunan. Ia rindu serta memastikan untuk memberikan jaminan pengampunan
kepada setiap orang yang bertobat dan berbalik kepadaNya. Namun untuk mereka
yang berhati kejam, penuh dengan maksud pembalasan dendam, niat menyakiti dan
membunuh sesamanya Tuhan tidak memberikan dispensasi. Adalah mustahil Ia mengizinkan
mereka yang bertentangan sifat denganNya menginjakkan kaki di surga yang kudus.
Tuhan tidak dapat bertoleransi kepada mereka yang bengis lagi kejam hatinya.
Hal ini merupakan
suatu kontras (perbedaan) yang menyolok dengan pribadi musuh kita. kasih itu
tidak sombong, ia tidak memegahkan diri, demikian firman Tuhan. Tetapi Iblis
adalah pribadi yang sombong, sangat angkuh. Sedemikian angkuhnya sehingga tidak
ada sedikitpun kasih padanya. Ia adalah bapa pendusta, sumber segala kekerasan
dan kejahatan di bumi ini. Ia datang bukan untuk menjamah, menghibur,
menyembuhkan, mengobati, merawat, atau menolong. Iblis datang untuk mencuri,
membunuh dan membinasakan. Tidak mengherankan apabila Rasul Yohanes menuliskan
bahwa perbedaan utama antara mereka yang berasal dari Allah atau berasal dari
roh lain (roh dunia atau Iblis) tercemin dalam ada atau tidaknya kasih dalam
kehidupan mereka (lihat 1Yohanes 3:10-19; 1Yohanes 4:7-13). Nah, Saudaraku,
adakah belas kasihan di dalam hatimu?
Dalam Alkitab banyak
kali disebutkan mengenai betapa setiap orang yang percaya serta hidup beribadah
kepada Tuhan harus memiliki belas kasihan. Sekali lagi, hal itu merupakan tanda
bahkan ukuran apakah seseorang mengenal Tuhan atau tidak, mengetahui hukum
ibadah yang sejati atau belum, beribadah dalam kenyataan dan perbuatan atau
hanya sekedar lip service (manis di
bibir) belaka. Ketahuilah, beberapa pengajaran Yesus yang paling terkenal
berkenaan dengan topik ini. Tegok saja misalnya kisah mengenai orang samaria
yang murah hati seperti tertulis dalam Lukas 10:25-37. Pada saat itu, Yesus
sedang menceritakan suatu perumpamaan untuk menjelaskan mengenai hukum yang
terutama kepada seorang ahli Taurat yang bertanya kepadaNya. Ini merupakan
suatu perumpamaan yang sangat menarik sekaligus mengandung arti yang amat
dalam: suatu pelajaran mengenai mengasihi sesama manusia seperti diri kita
sendiri; suatu pelajaran mengenai belas kasihan.
Secara singkat
perumpamaan itu sebagai berikut: Ada seorang Yahudi mengadakan dari Yerusalem
ke Yerikho tetapi di tengah perjalanan kawanan penyamun merampok, memukul dan
menghajarnya hingga ia hampir mati. Tidak berapa lama lewatlah seorang imam di
jalan dimana orang yang dirampok tadi tergeletak. Imam tadi tidak menolongnya.
Ia melewati orang itu tanpa peduli. Hal yang sama dilakukan oleh orang lewi.
Orang lewi itu bersikap tak acuh dan lewat begitu saja. Akhirnya, lewatlah
orang ketiga, seorang Samaria. Ia menolong orang itu. Dihampirinya orang yang
tergeletak itu, dibalutnya luka-lukanya. Tidak hanya itu, bahkan orang itu
dibawanya ke tempat penginapan yang terdekat dan membiayai seluruh biaya
perawatan orang itu hingga sembuh. Sungguh suatu kisah yang luar biasa, yang
terbit dari hikmah Allah yang tiada tandingannya!
Mengapa cerita itu
luar biasa? Karena Yesus menggunakan perumpamaan dengan tokoh-tokoh yang sangat
jelas, menunjukkan pada tindakan-tindakan yang nyata serta masuk akal,
menyindir dengan tajam setiap kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak
disadari oleh banyak orang. Lebih jelasnya, mari kita meneliti ketiga tipe
orang yang melewati orang korban perampokan tadi. Pertama, Yesus menyebutnya
seorang imam. Seorang imam menggambarkan seorang dengan posisi kerohanian yang
tinggi. Pada masa kini, orang tersebut dapat dipanggil sebagai hamba Tuhan. Orang kedua, seorang Lewi.
Seorang Lewi melukiskan seorang dari suku pilihan Tuhan. Suku Lewi adalah suku terpilih
yang dipanggil untuk melayani serta beribadah kepada Tuhan. Pada kehidupan
sekarang, seorang Lewi dapat disejajarkan dengan seorang aktivis gereja, yang
rutin menjalankan ibadah maupun pelayanan di gereja. Orang ketiga adalah
seorang Samaria. Ia tidak memiliki status apa-apa. Ia orang biasa atau orang
kebanyakan. Yang menarik, ia adalah seorang Samaria. Korban yang tergeletak
adalah orang Yahudi yang secara budaya turun temurun dilarang berhubungan
dengan orang Samaria. Tetapi justru orang Samaria inilah yang akhirnya menolong
orang itu.
Pesan yang hendak
disampaikan oleh Yesus adalah:
(1) Ukuran ada tidaknya belas kasihan seseorang
tidak ditentukan oleh status kerohaniannya. Seorang hamba Tuhan bisa jadi
dikagumi, kelihatan saleh, memiliki gelar pendidikan theologia, memimpin umat
di gereja dan sebagainya tetapi sekaligus menjadi orang yang sangat kejam. Atau
bisa juga seorang aktivis pelayanan gejera, suka membahas masalah rohani,
menjadi pengurus departemen gereja dan sebagainya tetapi sesungguhnya merupakan
serigala berbulu domba. Kedudukan rohani atau banyaknya kegiatan acara-acara
ibadah yang dilakukan seseorang tidak menjamin seseorang memiliki belas
kasihan. Hal itu menjadi begitu nyata saat sekelompok orang yang mengaku mengenal
Allah serta hukum-hukumNya tetapi juga sekaligus membuat banyak orang
menderita, tertipu, menelan rumah janda-janda bahkan mencapai puncaknya dengan
menuduh Seseorang Paling Benar yang pernah ada di bumi dengan tuduhan palsu dan
menyalibkanNya! Tahukah Anda siapa mereka? Orang-orang Farisi. Masihkah kita
heran apabila justru orang-orang yang kelihatannya paling rohani ternyata juga
adalah orang yang paling jahat? Waspadalah, roh Farisi dan Ahli-ahli Taurat
masih giat bekerja di tengah-tengah orang-orang percaya!
(2) Ukuran ada tidaknya belas kasihan dalam diri
kita diukur oleh tindakan kita terhadap orang yang menderita siapapun orangnya,
bahkan orang yang mungkin sangat memusuhi kita sekalipun! Inilah Orang
Samaria yang Murah Hati. Tentang dia, Alkitab menulis dengan luar biasa indah:
“Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan
ketika ia melihat orang itu, tergeraklah
hatinya oleh belas kasihan” (Lukas 10:33). Itu adalah kalimat yang sama yang
seringkali dipakai untuk menggambarkan hati Yesus pada saat melihat orang-orang
yang menderita! Itulah belas kasihan yang sesungguhnya. Bukan hanya dengan
perkataan-perkataan yang terlihat rohani. Bukan dengan gaya-gaya rohani pada
saat beribadah di gereja. Bukan hanya retorika (gembar-gembor) tetapi tindakan
nyata. Bukan kepada orang-orang yang kita sukai. Tidak hanya terhadap
orang-orang kelompok yang sama dengan kita. Melainkan orang-orang yang
berseberangan, tidak sepaham, tidak sepandangan, yang bersikap memusuhi kita.
Belas kasihan juga tidak dilakukan di depan banyak orang untuk mendapatkan
penghargaan sebesar-besarnya. Itu dilakukan di jalan yang sepi, dikerjakan
sendiri, tanpa promosi.
Sekarang bagaimana
dengan kita? Izinkan saya bertanya sekali lagi. Adakah Anda memiliki belas
kasihan? Belas kasihan yang bagaimanakah itu? Apakah itu belas kasihan yang
sama dengan yang dimiliki oleh Tuhan dan dicari oleh Tuhan dalam hidup kita?
Belas kasihan itu harus nyata dalam tindakan. Belas kasihan itu semestinya akan
mendorong kita bergerak dan melakukan sesuatu bagi Tuhan dan sesama. Tidak sama
persis dengan Ibu Theresa, namun sama nyatanya. Tidak selalu dengan menerjunkan
diri di tengah-tengah orang-orang paling menderita di bumi ini, tetapi setiap
orang dapat melihat atau merasakan belas kasihan itu keluar dari hidup kita.
Demikianlah kita akan layak disebut sebagai penyembah sejati. Amin.
(Diambil dari warta
Worship Center edisi 30 – 2 Agustus 2002)
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon TIDAK menggunakan kata-kata kotor atau kasar yang tidak memuliakan nama Tuhan. Terima kasih atas perhatiannya. Salam Revival!
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.