Diambil
dari buku Rick joyner yang berjudul “Overcoming evil in the last day”
(Mengalahkan
setan di hari-hari yang terakhir)
Pertama-tama kita
membahas tentang benteng rasisme, karena kuasanya berakar dalam dua kuk
perhambaan utama yang mengikat manusia, dan karena itu merupakan akar dari
kuasa si jahat. Jika kuk-kuk tersebut dipatahkan, maka orang akan lebih mudah
dibebaskan dari setiap kuk perhambaan yang lainnya.
Rasisme merupakan
salah satu benteng utama yang mengikat umat manusia dan merupakan benteng utama
yang memperkuat roh maut. Rasisme merupakan poros (pasak) dari kuk perhambaan
dari apa yang saya sebut “tali tiga rangkap iblis”. Karena itulah ia berusaha
untuk mengenakannya kepada setiap gereja dan kegerakan yang sudah dewasa
tingkat kerohaniannya. Siasat tersebut merupakan strategi yang paling efektif
sebagaimana dibuktikan di sepanjang sejarah kejatuhan ke dalam paling tidak
salah satu bentuk kejahatan yang besar ini. Karena penyesatannya yang demikian
licik, mereka yang terikat oleh kuasa jahat ini sering kali mengira bahwa
mereka adalah orang-orang yang paling merdeka dari prasangka rasisme.
Mungkin Anda mengira
bahwa saya sedang membawa masalah ini terlalu jauh, namun baik Kitab Suci
maupun sejarah meneguhkan hal ini. Pertama-tama kita harus mengerti bahwa
rasisme bukan hanya mengenai ras. Kita juga harus mengerti bagaimana rasisme
berakar dalam dua kuasa jahat yang paling mendasar yang telah mengendalikan
umat manusia sejak kejatuhan – ketakutan dan kesombongan. Seseorang menjadi
seorang rasis karena adanya kesombongan secara daging ataupun karena ketakutan
terhadap orang-orang yang berbeda dari mereka, dan keduanya merupakan tirai
tebal yang menyelubungi jiwa manusia. Rasisme merupakan salah satu penguasa
dunia kejahatan yang paling kuat.
TANDA
Tuaian akan datang
pada akhir zaman, dan yang akan dituai adalah segala sesuatu yang ditaburkan
dalam diri manusia, entah yang baik maupun yang jahat. Ketakutan dan
kesombongan pada akhirnya akan mencapai kematangannya dalam diri manusia.
Ketika kepada Yesus ditanyakan mengenai tanda-tanda akhir zaman, Ia berkata,
“Sebab bangsa akan bangkit melawan bangsa, dan kerajaan melawan kerajaan…”
(Matius 24:7). Kata “bangsa” dalam ayat ini diterjemahkan dari kata Yunani ethnos,dan dari kata itu lahirlah kata
“etnik”. Ini menjelaskan bahwa sebuah tanda yang mencolok dari akhir zaman dan
kedatangan-Nya yang kedua kali adalah konflik etnik. Dalam menggenapi ayat ini,
salah satu isu terbesar yang dihadapi oleh dunia dan gereja saat ini adalah
konflik etnik.
Dunia kehilangan
kendali dalam menghadapi masalah-masalah rasial. Penyebabnya adalah penguasa di
alam roh yang tidak dapat dibendung baik oleh perundangan maupun oleh manusia.
Hanya apa yang diikat di sorga dapat diikat di bumi ini. Jika gereja tidak
menanggulangi masalah ini – mengatasi masalah rasisme yang ada di dalam
lingkungan kita sehingga kita dapat mengambil otoritas rohani atasnya-dunia
akan segera meluncur jatuh ke dalam jurang kekacauan, kehancuran, dan penderitaan
dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya – semuanya disebabkan karena
konflik rasial. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Tuhan dalam percakapan-Nya
mengenai akhir zaman yang dicatat oleh Lukas 21:25-26:
“Dan
akan ada tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang, dan di bumi
bangsa-bangsa (ethnos) akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelora laut.
Orang
akan mati ketakutan karena kecemasan berhubungan dengan segala apa yang menimpa
bumi ini, sebab kuasa-kuasa langit akan goncang.”
Kita membaca dalam
Wahyu 17:15, “… air yang telah kaulihat …
adalah bangsa-bangsa dan rakyat banyak dan kaum dan bahasa.” Dalam ayat
yang dikemukakan oleh Lukas, kita melihat bahwa “deru dan gelora laut” merupakan
akibat dari kekacauan yang timbul di antara etnos
atau pertikaian-pertikaian etnik. Pertikaian ini menjadi demikian memuncak
sehingga orang menjadi mati ketakutan.
Masalah ini tidak
akan hilang oleh waktu, justru sebaliknya akan meningkat. Semakin lama kita
menunda waktu menghadapi benteng ini, dia akan semakin kuat. Tekanan sekarang
sedang dibangun di hampir setiap kota kelas dunia, namun jika tekanan itu
meledak, akibatnya tidak hanya berpengaruh kepada kota-kota itu aja. Tekanan
tersebut sedang meningkat di antara kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa
untuk mencapai titik didihnya. Luka-luka kebudayaan dan dendam zaman dahulu
kala memotivasi politik dari banyak
bangsa. Kita dapat mengatakan bahwa hampir setiap peperangan dan konflik yang
ada di dunia ini berakar dari suatu bentuk rasisme.
Rasisme adalah bagaikan bensin yang di tuangkan kepada bahan kering yang mudah menyala di dunia ini – yang dibutuhkan di berbagai tempat tersebut hanyalah percikan api untuk menyalakannya.
Api kemarahan rasisme yang meluap dari nafsu gila manusia
tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Setelah terjadinya pembunuhan hampir satu
juta orang di Rwanda dalam waktu beberapa minggu belum lama ini, beberapa orang
yang paling terlibat dalam pembantaian ribuan orang tersebut berkata bahwa
mereka bahkan tidak mengingat telah melakukan hal itu. Mereka tidak menyangkali
kesalahan bahwa mereka berlumuran darah, tetapi mereka menjelaskan bahwa
seperti ada sesuatu yang datang ke atas mereka terbawa olehnya. Mereka benar.
Apa yang terjadi di
Rwanda merupakan salah satu gladi resiknya iblis atas apa yang hendak
dilakukannya di muka bumi ini. Jika kita cukup angkuh untuk mengira bahwa kita
hidup di suatu negara yang sangat berbudaya di mana hal yang demikian tidak
mungkin terjadi, kesombongan tersebut dapat menjadi satu-satunya pintu yang
diperlukan si iblis. Di antara bangsa-bangsa Afrika, Rwanda merupakan salah satu
negara yang diperkirakan di mana hal tersebut kemungkinannya paling kecil dapat
terjadi. Sembilan puluh persen penduduknya orang Kristen, dan orang-orang
Rwanda dinilai sebagai bangsa yang paling mencintai damai dan penuh kasih di
Afrika. Jerman Nazi juga dinilai sebagai sebuah negara Kristen. Bagaimana bisa
sampai dikuasai oleh iblis? Inilah sebuah pertanyaan yang harus kita jawab.
KUASA YANG LEBIH TINGGI
Tuhan telah
menunjukkan kuasa-Nya waktu menenangkan badai dan gelombang. Mengenai Dia, Raja
Daud berkata, “Dengan perbuatan-perbuatan
yang dahsyat dan dengan keadilan Engkau menjawab kami, ya Allah yang
menyelamatkan kami, Engkau, yang menjadi kepercayaan segala ujung bumi dan
pulau-pulau yang jauh-jauh. Engkau, yang meredakan deru lautan, deru
gelombang-gelombangnya dan kegemaran bangsa-bangsa!” (Mazmur 65:6-8).
Tuhan kembali akan
berdiri dan menenangkan gelombang laut dengan firman-Nya. Tuhan datang untuk
membinasakan pekerjaan-pekerjaan iblis, dan Dia mengurus kita untuk maksud yang
sama ini. Kita berada di sini bukan sebagai penonton, melainkan berdiri untuk
melawan kegelapan dan memukulnya mundur. Namun, kita harus mengenali musuh kita
– rasisme adalah salah satu musuh yang paling utama dari kebenaran, injil, dan
umat manusia. Rasisme adalah musuh yang harus kita hadapi di dalam gereja. Dia
adalah musuh yang harus kita kalahkan.
Rasisme bukan hanya
suatu roh jahat, atau bahkan suatu pemerintah – dia adalah “penguasa dunia”
ini. Rasisme adalah salah satu benteng yang paling kuat di muka bumi ini, dan
ia telah menebar maut dan kehancuran lebih banyak daripada apa pun yang
lainnya. Peperangan-peperangan yang menimbulkan korban yang paling banyak,
termasuk Perang Dunia II, dipicu oleh rasisme. Roh yang kuat ini mempersiapkan
jalan dan memperkuat roh maut. Rasul Paulus memahami bahwa jika
hambatan-hambatan ras diatasi, perpecahan antara Yahudi dan non- Yahudi, ketika
mereka dicongkakkan bersama di dalam Kristus, tidak lain hanyalah “hidup dari
antara orang mati” (Roma 11:15) atau mengalahkan maut.
AKAR RASISME
Sebagaimana telah
dinyatakan, ada dua dasar rasisme. Yang
pertama adalah kesombongan, salah satunya dalam bentuk yang paling mendasar
– kesombongan secara manusia (daging). Kesombongan ini menghakimi orang lain
dalam penampilannya, yang merupakan bentuk kesombongan yang paling utama. Dalam
bentuknya yang paling dasar, kesombongan hanyalah pernyataan bahwa kita merasa cukup dengan
keadaan kita, bahwa kita tidak memerlukan Allah atau orang lain. Hal ini
menciptakan suatu jurang yang nyata antara kita dengan orang lain.
Dasar kedua dari rasisme adalah ketakutan. Perasaan tidak aman merupakan akibat dari kejatuhan
dan terpisahnya manusia dengan Allah. Rasa tidak aman merupakan ketakutan dari
mereka yang berbeda dan yang tidak dapat mereka kendalikan. Rasisme merupakan
gabungan antara kesombongan dan ketakutan yang saling menjalin secara mendalam.
Ketakutan mematahkan
hubungan sebagaimana kepercayaan membangun hubungan. Anda dapat memiliki kasih
dan kerelaan mengampuni yang sejati, namun jika Anda tidak menaruh kepercayaan,
sebuah hubungan tidak mungkin terjadi. Ketakutan dan kesombongan meruntuhkan
kepercayaan yang memungkinkan terbentuknya hubungan, karena itu keduanya
tersebut menghasilkan perpecahan.
MEMATAHKAN KUASA SI JAHAT
Salib Kristus
menghadapi dan mengatasi baik kesombongan manusia maupun perasaan tidak aman.
Roh Kudus diutus untuk menempelak dunia akan dosa-dosanya karena oleh sebab
pengungkapan dosa-dosa kitalah kita datang kepada salib untuk mendapatkan kasih
karunia dan pengampunan. Hal ini menghancurkan kesombongan kita dan membangun
ketergantungan kita kepada juruselamat, yang juga memulihkan kepercayaan kita
kepada-Nya. Semakin dalam salib bekerja di dalam diri kita, kita menjadi
semakin rendah hati dan semakin aman kita merasakan di dalam kasih-Nya. Jika
kita, yang demikian asing dengan sifat-sifat Allah, diterima kembali di dalam
Dia oleh kasih karunia-Nya, hal tersebut akan menimbulkan toleransi di dalam
diri kita terhadap mereka yang berbeda dengan diri kita. Akibatnya, mereka yang
sudah rohani mulai menghakimi dari sebuah perspektif rohani, bukan menurut
ukuran manusia.
“Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang juga pun
menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran
manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian.
Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah
ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”
2 Korintus 5:16-17
Terlebih
lagi, gereja tidak boleh menghakimi orang lain menurut warna kulit atau latar
belakang kebudayaan mereka. Kita harus belajar melihat dari Roh dan menghakimi
hanya oleh Roh, sebagaimana dikatakan mengenai Yesus:
“Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan
pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan Tuhan;
Ya, kesenangannya ialah takut akan TUHAN. Ia tidak akan
menghakimi dengan sekilas pandang saja atau menjatuhkan keputusan menurut kata
orang.”
Yesaya 11:2-3
Jika
kita mau hidup sebagaimana Ia hidup, kita juga harus belajar untuk melihat dan
mendengar sebagaimana Ia melihat dan mendengar. Ini merupakan pelajaran yang
luar biasa yang dialami oleh dua orang yang dalam perjalanan menuju ke Emaus.
Kristus yang sudah bangkit muncul di hadapan kedua murid ini dan berkhotbah
mengenai diri-Nya kepada mereka sebentar. Ini adalah Kristus yang berkhotbah
mengenai Kristus – tidak ada yang lebih diurapi daripada itu! Namun, mereka
masih saja tidak mengenali-Nya. Mengapa? Karena “… Ia menampakkan diri dalam rupa yang lain …” (Markus 16:12).
Salah
satu sebab utama kegagalan kita mengenali
Tuhan ketika Ia berusaha mendekati kita adalah karena kita cenderung
mengenali Tuhan melalui suatu bentuk ketimbang melalui Roh. Jika kita adalah
pengikut Karismatik, kita cenderung hanya mengenali-Nya jika Ia datang kepada
kita melalui seorang Karismatik. Atau jika kita penganut Baptis, kita cenderung
hanya mengenali-Nya jika Ia datang melalui seorang Baptis. Namun, biasanya Ia
mendekati kita dalam rupa yang lain daripada yang biasanya kita alami. Ia melakukan
hal tersebut dengan murid-murid-Nya sendiri setelah kebangkitan-Nya. Hal ini Ia
lakukan karena Ia selalu berusaha supaya kita mengenali Dia menurut Roh, bukan
melalui penampilan lahiriah.
Tuhan
menyatakan: “Dan Aku berkata kepadamu: mulai sekarang kamu tidak akan melihat
Aku lagi, hingga kamu berkata: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!” (Matius
23:39). Kita tidak akan melihat Dia sampai kita belajar memberkati mereka yang Ia
utus kepada kita, tidak peduli bagaimanapun rupa mereka yang diutus. Bahkan,
orang-orang Israel tidak mengenali Tuhan ketika Ia datang kepada mereka dalam
rupa yang tidak mereka harapkan. Ini bukan masalah baru dengan umat Allah,
namun ini masih tetap merupakan masalah yang serius.
KEMULIAAN DARI
PERBEDAAN
Gereja
dipanggil untuk mempunyai dan memantulkan jawaban yang paling mendasar dalam
masalah kehidupan manusia. Rasisme adalah salah satu masalah yang paling
mendasar dan mematikan dalam sejarah manusia, dan kuasanya semakin meningkat
tajam dewasa ini. Namun Tuhan menyatakan: “Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi
segala bangsa (ethnos) …” (Markus
11:17). Gereja tidak akan mencapai tujuannnya sampai gereja benar-benar menjadi
rumah doa bagi segala bangsa. Hal ini membuat menjadi antitesis puncak terhadap
rasisme dari si jahat.
Paulus
berkata, “bahasa roh adalah tanda” (1 Korintus 14:22). Tanda apa? Tanda bahwa
gereja menjadi antitesis terhadap menara Babel, di mana karena bahasa orang
dicerai-beraikan dan terpisah satu sama lain ke dalam berbagai ras dan
kebudayaan. Kita melihat demonstrasi pertama yang luar biasa mengenai hal ini
pada hari Pentakosta, tepatnya pada hari kelahiran gereja.
“Waktu itu di Yerusalem diam orang-orang Yahudi yang
saleh dari segala bangsa (ethnos) di bawah kolong langit.
Ketika turun bunyi itu, berkerumunlah orang banyak.
Mereka bingung karena mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata
dalam bahasa mereka sendiri.”
Kisah Para Rasul 2:5-6
Gereja merupakan tempat di
mana orang akan menyatu kembali, tanpa melihat ras, kebudayaan, bahasa, dan
sebagainya. Bukankah menarik jika orang-orang Yahudi dari berbagai ethnos mendengar dan memahami satu
bahasa? Yesus adalah firman Allah, atau komunikasi Allah kepada kita. Ketika
orang-orang melihat kemuliaan-Nya, waktu Ia ditinggikan, semua orang akan ditarik
kepada-Nya dan akan mengerti dengan satu hati kembali. Gereja yang
sungguh-sungguh menyembah-Nya akan mendemonstrasikan hal tersebut. Paulus
mengatakan kepada jemaat Galatia bahwa dalam gereja setiap petobat, yang
berasal dari latar belakang berbagai kebudayaan atau jenis kelamin, dipandang
sama di hadapan Allah.
“Karena kamu semua, yang dibaptis dlam Kristus, telah
mengenakan Kristus.
Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang
Yanani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan,
karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”
Galatia
3:27-28
Mungkin saja ada perbedaan
kedudukan kita di hadapan Allah seperti di hadapan otoritas pemerintahan, atau
dalam suatu pelayanan khusus, tetapi tidak ada dalam hal ras, jenis kelamin,
atau latar belakang kebudayaan. Bahkan, orang Kristen yang baru mengalami
kelahiran baru pun dapat dengan penuh keberanian datang ke hadapan takhta Allah
sebagai pengkhotbah yang hebat di dunia ini. Allah tidak memandang muka,
demikian jugalah bila kita hidup oleh Roh-Nya.
Ini baru merupakan permulaan
dari studi kita mengenai musuh utama gereja dan umat manusia. Sebelum kita
melanjutkan, saya minta Anda berhenti dan bertanya kepada Tuhan jika ada akar
kejahatan ini di dalam hati Anda, dan jika ada, mohonlah kepada-Nya agar menolong
Anda untuk dapat melihatnya dan
bertobatlah.
Pintu-pintu gerbang neraka merupakan titik masuk si musuh ke dalam hidup kita, dan rasisme merupakan salah satu pintu si jahat yang paling besar yang dipunyainya di muka bumi dan di dalam hidup pribadi kita ini.
Karena itu, mereka yang terlepas dari belenggu rasisme menjadi ancaman terbesar bagi kuasa si jahat di dunia ini dan mereka itulah yang memiliki kuasa untuk menutup pintu-pintu gerbang neraka untuk bebas dari rasisme, haruslah ketakutan dan kesombongan digantikan dengan kerendahan hati dan iman, dua kuasa yang paling besar yang ada di muka bumi ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon TIDAK menggunakan kata-kata kotor atau kasar yang tidak memuliakan nama Tuhan. Terima kasih atas perhatiannya. Salam Revival!
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.