Oleh : Peter B, MA
Pengharapan
merupakan suatu modal penting untuk mencapai sesuatu yang kita
inginkan di masa yang akan datang. Pengharapan seperti suatu
cita-cita yang begitu kuat menguasai pikiran kita sehingga seluruh
hidup kita diarahkan untuk melihatnya menjadi kenyataan. Dalam
pengharapanlah apa yang diangankan dan diinginkan akan diusahakan.
Dan jika kita berkali-kali mendengar seseorang yang memiliki impian
yang besar dan terasa mustahil nyatanya berhasil mewujudkannya (dan
kita menilainya sebagai orang yang sukses dan berbahagia) BETAPA
LEBIHNYA akan dikatakan bagi orang-orang yang mendambakan lalu hidup
sedemikian rupa untuk menerima penggenapan impian di atas segala
impian : kehidupan kekal bahagia bersama Allah dalam kemuliaan!
Kita akan melangkah
pada hal kedua yang dapat dijadikan patokan untuk mengukur seberapa
besar pengharapan yang ada pada kita.
KEDUA,
PENGHARAPAN SEJATI PADA TUHAN TAMPAK DALAM HAL SEBERAPA BANYAK KITA
HIDUP MENGASIHI DAN PERCAYA PADA TUHAN YANG TIDAK KITA LIHAT
Ini dinyatakan oleh
1 Petrus 1:8
Sekalipun kamu
belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya.
Kamu percaya
kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya.
Kamu bergembira
karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan,
Dua kali Petrus
menyampaikan dalam nats di atas bahwa pada dasarnya, hubungan kita
dengan Tuhan adalah hubungan dengan sesuatu yang “belum pernah kita
lihat” dan “yang sekarang tidak kita lihat”. Bagi dunia yang
mengagungkan materi dan apa yang tampak dan dapat dibuktikan supaya
percaya, ini sebuah kekonyolan. Atau setidaknya, tidak masuk akal.
Namun bahkan ditegaskan di sana sesuatu yang lebih jauh. Yaitu bahwa
dalam Kristus, kita bukan sekedar terhubung dengan sesuatu yang
transenden (yang melampaui akal pikiran pada umumnya) tetapi hidup
untuk mengasihi dan mempercayakan diri pada yang tak kelihatan itu.
Jelas ini merupakan
suatu bentuk kehidupan yang sangat berbeda dengan yang kita saksikan
setiap hari di sekitar kita, di sini, di bumi ini.
IMAN DAN KASIH
YANG LAHIR DARI PENGHARAPAN
Dalam 1 Tesalonika
5:8, rasul Paulus memberitahukan kita :
Tetapi kita, yang
adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman
dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan.
Dalam konteks
menyambut kedatangan Tuhan kedua kalinya, Paulus mengingatkan kita
untuk menggunakan perlengkapan perang rohani dan bersiap dalam segala
keadaan.
Kepala kita (yang
adalah gambaran dari pikiran kita) wajib dilindungi oleh ketopong
pengharapan keselamatan. Dan hati kita dijaga oleh iman dan kasih.
Ketiga hal ini saling berhubungan satu sama lain. Ketiganya saling
menopang dan memperkuat yang lain. Karena iman pada Tuhan, kita
beroleh kasih dan timbul pengharapan akan hidup kekal lagi mulia
(Roma 5:1-5). Dalam kasih lahir iman dan pengharapan : “Kasih
percaya segala sesuatu...mengharapkan segala sesuatu...” Demikian
juga dalam pengharapan. Dari pengharapan, akan lahir iman dan kasih.
Dari nats di atas,
dapat disimpulkan bahwa ketika pikiran kita dikuasai oleh pengharapan
akan keselamatan kekal maka di hati kita akan tumbuh iman dan kasih,
yang akan menjadi kekuatan kita meraih pengharapan yang memenuhi
pikiran kita itu.
karena kami telah
mendengar tentang imanmu dalam Kristus Yesus dan tentang kasihmu
terhadap semua orang kudus, oleh karena pengharapan, yang disediakan
bagi kamu di sorga.
~ Kolose 1:4
Iman dan kasih
sering disandingkan bersama-sama sebagai ekspresi-ekspresi dasar
kehidupan orang percaya yang pada intinya ditujukan demi meraih hidup
kekal selagi menjalani kehidupan sementara di bumi :
¬Sebab bagi
orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak
bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja
oleh kasih.
~ Galatia 5:6
Karena itu, setelah
aku mendengar tentang imanmu dalam Tuhan Yesus dan
tentang
kasihmu terhadap semua orang kudus,
~ Efesus 1:15
sehingga oleh
imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar
serta berdasar di dalam kasih.
~ Efesus 3:17
Damai sejahtera dan
kasih dengan iman dari Allah, Bapa dan dari Tuhan Yesus
Kristus menyertai sekalian saudara.
~ Efesus 6:23
Tetapi sekarang,
setelah Timotius datang kembali dari kamu dan membawa kabar yang
menggembirakan tentang imanmu dan kasihmu, dan bahwa
kamu selalu menaruh kenang-kenangan yang baik akan kami dan ingin
untuk berjumpa dengan kami, seperti kami juga ingin untuk berjumpa
dengan kamu,
~ 1 Tesalonika 3:6
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa jika dalam kita ada pengharapan akan kehidupan
penuh bahagia yang mulia dan kekal setelah yang di bumi maka itu akan
nyata ditampakkan secara alami melalui suatu sikap dan gaya hidup
yang mengasihi serta penuh iman pada Tuhan, sekalipun kita tak dapat
melihatnya dengan mata jasmani kita.
Pertanyaannya,
siapakah yang sungguh-sungguh kita kasihi selama hidup di dunia
sekarang ini? Adakah itu Yesus yang tak kelihatan itu atau hanya
orang-orang yang dapat kita rasakan kehadirannya secara fisik di
dunia ini?
Juga, siapakah yang
kita andalkan dalam menjalani hari-hari kita selama di dunia ini?
Adakah itu hal-hal kasat mata dan yang bersifat materi yang menjadi
sandaran hidup kita sehari-hari, atau kepada Allah, sebagai
satu-satunya tempat kita bergantung dan memohon pertolongan?
REFLEKSI SINGKAT
TENTANG IMAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGHARAPAN
Iman pada apa yang
tak terlihat jauh berbeda dengan apa yang dapat kita lihat. Masuk
sebuah gedung, naik suatu kendaraan, mengkonsumsi makanan yang
disajikan di rumah atau di restoran atau membayar sebuah pembelian
menggunakan benda yang bernama uang dalam tingkatan masing-masing
membutuhkan semacam iman atau kepercayaan pada benda-benda atau
hal-hal yang bersinggungan dengan kita. Kita harus memiliki kadar
kepercayaan tertentu, yang yakin bahwa bangunan yang kita masuki itu
tidak akan runtuh menimpa kita, tanah atau lantai yang kita pijak
tidak longsor ke bawah, makanan yang kita masukkan ke tubuh kita
tidak beracun atau lembaran kertas berwarna-warni serta koin logam
yang kita sebut uang itu memiliki nilai yang mampu melakukan
pertukaran dengan barang yang kita inginkan. Harus ada iman untuk
benda-benda itu. Tetapi itu iman kepada apa yang terlihat.
Iman kepada yang tak
terlihat artinya kepercayaan pada sesuatu yang tak dapat kita lihat
dan rasakan dengan indera-indera jasmani kita. Itu hanya dapat
dirasakan dalam roh kita. Roh kita harus lahir kembali, hidup dan
aktif sehingga mata rohani kita dapat melihat BAHKAN PERCAYA kepada
apa yang tak terlihat oleh mata jasmani kita.
Lalu bagaimana kita
tahu bahwa pengharapan kita telah melahirkan iman? Darimana kita bisa
menilai diri kita telah hidup dalam iman yang didasarkan pada harapan
menerima hidup kekal?
Untuk mengetahui hal
ini, ada dua hal yang dapat kita jadikan perenungan, yaitu tentang :
1) Siapa yang
memimpin, menuntun dan mengarahkan hidup kita sehari-hari?
2) Apa yang kita
kejar sepanjang keberadaan kita di bumi?
Renungkan, siapa
yang memimpin hidup kita. Iman pada yang tak terlihat didasarkan
pada suatu kehidupan yang terus menerus dihubungkan pada yang tak
terlihat. Jika kita menaruh percaya pada Tuhan yang tak terlihat
itu, hidup kita sudah seharusnya disandarkan pada Dia. Kita harus
mencari tuntunan-Nya, merasakan kehadiran-Nya lalu mempercayai-Nya
memimpin kita langkah demi langkah setiap hari dengan taat mengikuti
petunjuk dan perintah-Nya. Ini paling terlihat dalam bagaimana kita
mengisi waktu-waktu kita setiap hari. Ada aktivitas rutin yang
menjadi kewajiban kita, yang harus kita tunaikan sebagai bentuk
tanggung jawab kita sebagai makhluk-makhluk yang diciptakan untuk
berkarya. Masalahnya, siapakah yang menuntun dan menjadi penggerak
kita dalam mengerjakan semuanya itu?
Kebanyakan orang
melakukan pekerjaannya sehari-hari dipimpin oleh pikiran, perasaan
dan kehendaknya sendiri. Meskipun mengaku sebagai orang percaya,
jarang yang menanti-nantikan Tuhan untuk menolong mereka membuat
rencana apalagi melaksanakannya. Semua orang Kristen mengaku sedang
menjalani hidupnya menuju sorga, sayangnya kelakuan mereka
sehari-hari tidak berjalan dengan setia di belakang Pribadi yang
hendak menuntun mereka menuju ke sana.
Paulus berkata pada
jemaat Galatia , “Hiduplah oleh Roh, berilah dirimu dipimpin
oleh Roh, supaya kamu tidak menuruti keinginan daging” (Galatia
5:16). Inilah sebenarnya yang disebut hidup dalam iman percaya
akan sesuatu yang tak kelihatan itu. Kita seharusnya belajar
mengenali Roh Kudus yang berbicara dan menarik kita untuk hidup
sesuai kehendak Tuhan. Belajar untuk peka mendengar suara-Nya, lalu
melatih diri untuk taat pada tuntunan-Nya itu merupakan kebiasaan
yang harus dikembangkan menjadi gaya hidup orang-orang yang memiliki
pengharapan dalam Kristus.
Orang yang hidup
tanpa iman yang lahir dari pengharapan, akan hidup seturut
kehendaknya sendiri. Menyikapi sesuatu yang membuatnya marah, ia akan
meluap dalam murka. Mengetahui suatu kesempatan untuk mendapatkan
keuntungan, tanpa pikir panjang ia mengejarnya tanpa memikirkan
dampak bagi hubungannya dengan Tuhan dan kerohaniannya. Menghadapi
masalah dan kesukaran hidup, ia berputus asa atau mencari jalan
keluar secara manusiawi dengan menyuntikkan dosis-dosis pesan dan
kata-kata motivasi yang semakin besar ketimbang menanti Roh Kudus
memberikan hikmat melalui penyingkapan kebenaran-kebenaran firman
Tuhan. Memikirkan masa depan, mereka yang tak memiliki iman pada
Tuhan, membuat rancangan terbaik untuk dirinya dan anak cucunya
dengan melalaikan Tuhan tetapi berharap pertolongan Tuhan ketika
rencana-rencana pribadinya itu terhalang masalah dan terbentur
kesulitan.
Kita tahu, di zaman
Nuh, dunia terbelah dalam dua pengharapan. Seisi bumi menaruh harapan
dan keyakinan pada dunia, sedangkan Nuh kepada Tuhan. Yang berharap
pada dunia tak mampu melihat rencana Tuhan dan menerima tuntunan
Tuhan bagi keselamatan mereka. Nuh yang menaruh harapan untuk dunia
yang akan datang, melihat Tuhan dengan mata iman dan menerima
tuntunan Tuhan. Dan Nuh tidak turut binasa oleh karena imannya itu.
Siapa yang
mengarahkan dan menuntun Anda setiap hari menunjukkan iman Anda.
Sebab yang menuntun Anda pada tujuan bergantung pada pengharapan
dalam hidup Anda. Pengharapan sorgawi membawa pada penyerahan diri
untuk dipimpin oleh Sang Pribadi yang menjanjikan sorga, sedangkan
pengharapan duniawi percaya pada hasrat dan petunjuk yang membawa
pada tujuan dunia yang fana.
Pikirkan kembali
tentang apa yang tiap hari kita kejar.
Yesus memberikan
pesan yang sangat tegas terkait perbedaan antara orang-orang yang
mengenal Allah dan yang tidak.
Sebab itu
janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan?
Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua
itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi
Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi
carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu
akan ditambahkan kepadamu.
~ Matius 6:31-33
Mereka yang hidupnya
penuh kekuatiran (yang artinya tidak memiliki iman pada Tuhan yang
sanggup memelihara mereka) mencari perkara-perkara duniawi sebagai
prioritas pertama dalam hidup mereka. Orang-orang ini bekerja keras
mencari nafkah, penghasilan untuk kehidupan, bersibuk-sibuk dan
menghabiskan waktu untuk sekedar bertahan hidup atau untuk
mengumpulkan sesuatu yang tidak akan mereka bawa dan nikmati setelah
mati. Yesus tidak sedang melarang orang bekerja mencari nafkah tetapi
Yesus mempertanyakan APA YANG PALING MEREKA USAHAKAN DALAM HIDUP.
Jika itu hanya hal-hal sementara yang suatu kali akan lenyap bersama
dunia ini, yaitu sesuatu yang tidak memiliki nilai kekekalan, maka
hidup mereka sesungguhnya tidak mengenal Allah. Orang-orang semacam
ini tidak memiliki iman meskipun mereka berteriak-teriak dan
mengklaim bahwa diri mereka orang beriman atau penuh dengan iman.
Maksudnya adalah :
seberapa banyak dari kita yang mengarahkan hidup kita untuk fokus
pada perkara-perkara Kerajaan Allah yang kekal itu? Seberapa banyak
kita memikirkan dan menghidupinya? Dan, apakah kita sudah lebih
banyak mengejar harta yang kekal daripada harta dunia yang dapat
rusak dan lenyap itu?
Orang-orang yang
benar-benar beriman karena penuh pengharapan akan kekekalan ialah
mereka yang bekerja, belajar, melayani, dan melakukan segala
aktivitas kesehariannya dengan mata batin yang tertuju pada hal-hal
yang berdampak nanti di keabadian. Ini bukan mengusahakan keselamatan
dengan berbuat baik tetapi mengerjakan keselamatan dengan pengharapan
mengumpulkan suatu harta yang tidak dapat layu, rusak atau diambil
daripadanya.
Dari sudut pandang
pengharapan, hidup dalam iman pada Tuhan itu merupakan suatu hidup
yang dipimpin oleh Tuhan untuk mengejar tujuan-tujuan yang ditetapkan
Tuhan.
Dengan menjalani
hidup semacam inilah, pengharapan kita menjadi suatu milik yang
pasti.
Tetapi kami
ingin, supaya kamu masing-masing menunjukkan kesungguhan
yang sama untuk menjadikan pengharapanmu suatu milik yang pasti,
sampai pada akhirnya, agar kamu jangan menjadi lamban, tetapi
menjadi penurut-penurut mereka yang oleh iman dan kesabaran mendapat
bagian dalam apa yang dijanjikan Allah.
~ Ibrani 6:11-12
RENUNGAN SEKILAS
TENTANG KASIH DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGHARAPAN
Mudah bagi kita
mencintai yang kita lihat. Apalagi jika itu membuat hati kita
terpikat, menjadikan kita merasa senang dan bahagia. Bahkan secara
naluriah, ketika orang tua melihat anak-anak yang mereka lahirkan,
tumbuh suatu perasaan cinta yang kuat kepada manusia yang baru
melihat dunia itu. Sebaliknya, mengasihi yang tidak kita lihat jauh
lebih sukar. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa menjalin hubungan
jarak jauh di antara dua orang kekasih sangat rawan perpisahan.
Kesulitan untuk bertemu sekalipun berkesempatan bertatap muka tiap
hari melalui kecanggihan alat-alat komunikasi tidak dapat
menggantikan perasaan yang haus untuk sesuatu yang jarang dilihat dan
dirasakan. Ini bertambah sulit ketika pribadi yang kita cintai itu
tidak dapat kita lihat dan rasakan secara lahiriah sama sekali,
seperti Tuhan.
Oleh mata iman kita
melihat dan merasakan kehadiran dan pimpinan Tuhan. Dari iman pada
firman-Nya pula kita tahu bahwa Tuhan sangat mengasihi kita dan telah
membuktikan cinta-Nya dengan pengorbanan Anak-Nya di kayu salib ganti
kita. Kesadaran bahwa kita dicintai, menjadikan kita tak mungkin tak
mengasihi Dia. Lebih lagi, dalam pengharapan, Ia menjanjikan tempat
abadi dimana kita dapat tinggal selama-lamanya bersama pribadi yang
sangat mengasihi kita dan yang sangat kita kasihi itu. Itulah
sebabnya, kasih kita kepada Tuhan limpah oleh karena kenyataan yang
diterima oleh iman maupun pengharapan kita. Oleh iman, kita tahu kita
dikasihi dari sejak kita belum berjumpa Tuhan hingga sekarang kita
menjalani hari-hari bersama Tuhan. Oleh pengharapan, kita pun tahu
bahwa kita dikasihi sehingga beroleh jaminan keselamatan dan
kebahagiaan kekal di masa-masa yang jauh di depan, bahkan dalam
keabadian.
Mengasihi apa yang
tidak kita lihat hampir serupa dengan mengasihi yang dapat kita
lihat. Sama-sama memerlukan kadar kepercayaan tertentu namun iman
yang diperlukan untuk mengasihi Tuhan harus lebih kuat dan mampu
merasakan keberadaan-Nya sehingga kita dapat mengasihi-Nya.
Dalam hubungan
dengan pengharapan untuk bersama-sama dengan Tuhan, kita tahu bahwa
kita mengasihi Tuhan dalam dua hal :
1) Seberapa
banyak kita rindu berada dan tinggal bersama-sama dengan Tuhan?
2) Seberapa kita
bersedia berkorban demi tetap menjalin kasih dengan Tuhan?
Periksalah,
seberapa besar kerinduan kita untuk selalu bersama-sama dengan Tuhan.
Sepasang kekasih
yang dimabuk asmara terlihat jelas ketika mereka seolah tak
terpisahkan. Mereka saling memikirkan jika tak lagi bertemu, tak
ingin segera berpisah kalau bertemu. Selalu mencari kesempatan untuk
berduaan. Senang melakukan segala sesuatu bersama-sama. Sampai-sampai
dikatakan, “dunia seolah milik mereka berdua”. Meskipun kemudian
dalam perkembangannya tidak selalu demikian, tetapi perasaan rindu
untuk selalu bersama akan selalu ada. Dalam bentuk lain, pada
dasarnya dua pihak yang saling mengasihi, entah keluarga atau dua
orang sahabat, senantiasa berharap untuk bertemu dan menghabiskan
waktu bersama.
Hal serupa
seharusnya terjadi di antara kita dan Tuhan. Jika kita mengaku rindu
untuk bersama-sama dengan Dia dan menghabiskan waktu bersama dalam
kekekalan, di sini pun sekarang seharusnya itu akan terlihat. Hati
kita senantiasa merindukan kehadiran-Nya. Pikiran kita tak henti
memikir-mikirkan tentang apa yang ada pada-Nya. Hasrat kita ialah
mengenal Dia lebih lagi, untuk menyukakan hati-Nya serta mencari cara
untuk menunjukkan bahwa kita sangat mencintai-Nya. Ini seharusnya
terjadi secara natural atau alamiah.
Dari melihat ke
dalam hati kita dan dengan jujur mengakui apakah kita senang
menghabiskan waktu bersama Tuhan dan seberapa banyak kita suka
melakukannya, menunjukkan kadar cinta kita kepadanya. Jika kita punya
waktu untuk mendengarkan teman bercerita atau berkumpul bersama
keluarga, membaca dan berkawan dengan ribuan teman-teman di media
sosial atau mengadakan kontak telepon atau panggilan video berjam-jam
lamanya dengan seseorang namun kita bahkan hanya menyediakan waktu
yang sebentar untuk merenung dan berdoa, bercengkerama dalam hati dan
menanti-nantikan Tuhan kita sebenarnya tidak benar-benar mengasihinya
dan rindu untuk tinggal bersama-Nya.
Mereka yang berharap
tinggal bersama-sama dengan Tuhan di kekekalan, telah membuktikan
pengharapannya itu dengan bergaul dengan Tuhan di hidup yang
sekarang. Makin hari makin rindu untuk bertemu sang Kekasih Jiwa nan
Agung. Sebaliknya, yang hari ini menghabiskan waktu dan suka
bersama-sama yang lain daripada bercengkerama dengan Tuhan memiliki
pengharapan yang kecil, yang akan segera melemah dengan berbagai
godaan dan tantangan dunia yang bermaksud menghentikan, menyimpangkan
dan menyesatkan jalan kita menujun rumah abadi.
Pastikanlah,
cinta kita pada Tuhan dibuktikan melalui korban dan persembahan yang
berkenan di mata Tuhan.
Cinta terbukti dalam
perbuatan. Pikiran dan perkataan saja tidaklah cukup sebab puncak
dari cinta adalah kesediaan dan kerelaan untuk berkorban demi yang
kita cintai. Tidak salah untuk meragukan cinta seseorang ketika ia
menolak melakukan pengorbanan bagi yang dikasihinya atau jika ia
hanya bersedia membuat sedikit saja pengorbanan untuk kekasihnya.
Begitu pula dengan yang bersedia berkorban demi memperoleh balasan
dan keuntungan cinta yang lebih besar daripada yang diberikannya.
Cinta kita kepada
Tuhan dapat diukur dari seberapa banyak yang kita telah persembahkan
dan korbankan untuk mengasihi-Nya. Relakah kita mengorbankan
kenyamanan hidup kita bagi Dia? Seberapa kita siap melepaskan dan
membagi-bagikan harta kita, jika Tuhan menghendakinya (Lukas 18:22)?
Maukah kita menyisihkan cita-cita kita untuk meraih pencapaian dan
kebesaran di dunia demi melayani Sang Raja? Maukah kita mengikuti
pimpinan untuk menyerahkan hidup kita seluruhnya sebagai persembahan
untuk melakukan kehendak Bapa, seperti hidup Yesus?
Itu sebabnya ketika
kita melihat begitu banyak yang mengaku murid-murid Kristus tetapi
perlu didorong, didesak, ditarik untuk hidup mengasihi Tuhan atau
untuk mempersembahkan sesuatu bagi Tuhan, kita seharusnya memahami
bahwa banyak di antaranya mengasihi hal-hal yang lain karena menaruh
pengharapan pada yang lain. Saat kita lebih rela mengeluarkan uang
untuk kesenangan kita seperti berbelanja, makan dan minum, menonton
bioskop atau menyewa resort yang mewah untuk berlibur tetapi hanya
sebagian yang jauh lebih kecil daripada itu kita persembahkan untuk
mendukung pekerjaan Tuhan, harusnya kita tahu bahwa pengharapan kita
kecil saja.
Jika doa dan
pertemuan-pertemuan ibadah kita lebih banyak untuk menjadikan kita
nyaman dan menjadi ajang penyerahan proposal permohonan berkat-berkat
jasmaniah seperti kemudahan, kelancaran dan kesuksesan duniawi, kita
seharusnya meratap dan menyadari betapa pengharapan kita hanya sejauh
dunia ini. Dengan pengharapan semacam itu, kitalah orang-orang paling
malang di antara semua orang di muka bumi:
Jikalau kita
hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka
kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia.
~ 1 Korintus
15:19
Oleh sebab apa kita
dapat menjadi orang-orang paling menyedihkan seperti itu? Sebab kita
telah salah jalan. Tersesat. Yang menyangka bahwa ibadah kepada Tuhan
itu merupakan suatu sumber keuntungan (1 Timotius 6:3-5), dimana pada
dasarnya kita bermaksud memanfaatkan Tuhan untuk kepentingan kita
daripada mempersembahkan hidup bagi kemuliaan Tuhan dan kepentingan
Injil dan kerajaan-Nya.
Orang yang menaruh
pengharapan pada Tuhan, pasti mengasihi Tuhan yang telah melimpahinya
dengan kasih abadi itu. Karena kasih itu mereka membayar harga
hubungan kasih dengan Tuhan melalui banyak pengorbanan sebagaimana
yang diperlukan supaya saat ini hingga selama-lamanya tak terpisahkan
dengan Tuhan yang sangat dikasihinya. Kita mengasihi Tuhan bukan
terutama karena kita dikasihi tetapi karena Ia memang layak dikasihi.
Namun kasih kita pada Tuhan akan semakin besar dan limpah ketika kita
tahu bahwa kita akan disatukan dan diam bersama-sama dengan Tuhan
yang telah mengasihi kita dengan hebatnya itu.
Jika kita hanya
bersedia berkorban karena cinta akan hal-hal di dunia sekarang ini
saja, maka jelaslah pengharapan kita belum tertuju kepada Tuhan.
Sebaliknya, pengorbanan karena ketulusan kasih pada Tuhan merupakan
bukti yang tak terbantahkan bahwa hidup kita bukan hendak dihabiskan
dan disandarkan pada sesuatu yang fana tetapi kepada Pribadi Tuhan
yang tak mungkin berdusta dalam janji-Nya kepada kita.
PENUTUP
Ketika iman dan
kasih pada Tuhan kita dapati dalam diri kita, terlihat oleh sekitar
kita dan diakui oleh Tuhan, maka kita tahu bahwa pengharapan kita pun
teguh. Sebaliknya pun benar, jika hidup kita hanya disandarkan pada
perkara-perkara yang tampak oleh mata jasmani dan kasih kita
ditujukan kepada apa yang menyukakan hati selama di bumi, kita tahu
kita tak memiliki pengharapan sejati pada Tuhan.
Masalah dari
kurangnya atau ketiadaan pengharapan ialah kemunduran rohani dan
kemurtadan, dimana kita berpaling dari Tuhan dan tak lagi mengikut
Dia. Kemurtadan juga berarti hilangnya keselamatan yaitu hidup kekal
di sorga. Kehilangan pengharapan sama dengan hilangnya keselamatan.
Sebab hanya orang yang berharap yang akan bertahan hingga akhir. Ia
akan melakukan apa yang perlu dan harus dilakukan untuk melihat
pengharapannya menjadi kenyataan. Namun mereka yang tidak memiliki
pengharapan sorgawi dan telah mengalihkan pengharapannya dunia, akan
lenyap bersama duia yang akan berlalu ini.
Jika hari ini,
setelah memeriksa diri Anda, menemukan bahwa pengharapan Anda
melemah, berserulah kepada Tuhan. Tersungkurlah di bawah kaki-Nya dan
akui bahwa Anda telah menyandarkan hidup dan memprioritaskan yang
lain lebih daripada Tuhan. Mintalah Tuhan mengisi pikiran dan hati
Anda dengan firman perkataan-Nya yang membangkitkan harapan. Seperti
Elia yang kelelahan dan harus menghabiskan waktu berdua saja dengan
Tuhan setelah berhadapan dengan nabi-nabi palsu, habiskan waktu
bersama Tuhan dan hanya dengan Tuhan saja beberapa waktu lamanya,
sampai kekuatan pengharapan Anda dibangun kembali.
Ketika perspektif
Anda telah diperbarui dan sorga menjadi inspirasi Anda, jangan
biarkan itu memudar. Carilah Tuhan dan suara-Nya setiap hari dalam
hidup Anda.
Berjanjilah untuk
tidak melewatkan satu haripun tanpa membayangkan dan menginginan
kebersamaan dengan Tuhan dan merasakan suasana sorga dalam
hadirat-Nya di hidup Anda.
Biarkan Roh Kudus
terus memperkuat pengharapan Anda seketika Anda memejamkan mata dan
mengingat Dia!
Biar janji Tuhan nan
manis menjadi kenyataan yang termanis bagi kita.
Di sini. Hingga
nanti. Sampai kekal.
Janji yang manis:
” Kau tak Ku lupakan”,
tak
terombang-ambing lagi jiwaku
walau lembah
hidupku penuh awan
nanti ‘kan
cerahlah langit diatasku.
Yakin ‘kan
janji: ” ‘Kau tak Kulupakan”,
dengan sukacita
aku jalan t’rus;
Dunia dan kawan
tiada ‘ku harapkan,
satu yang setia:
Yesus, Penebus.
Dan bila pintu
sorga dibukakan,
selesailah sudah
susah dan lelah;
Kan ku dengarlah
suara mengatakan:
“Hamba yang
setiawan, mari masuklah”.
Refrein:
Kau tidak ‘kan
Aku lupakan,
Aku memimpinmu,
Aku membimbingmu;
kau tidak ‘kan
Aku lupakan,
Aku penolongmu,
yakinlah teguh”.
(Nyanyian Kidung
Baru no 143)
Salam revival!
Indonesia penuh
kemuliaan Tuhan
MENGUKUR PENGHARAPAN KITA Bagian 1
MENGUKUR PENGHARAPAN KITA Bagian 2
MENGUKUR PENGHARAPAN KITA Bagian 3
MENGUKUR PENGHARAPAN KITA? Bagian 4 (terakhir)
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon TIDAK menggunakan kata-kata kotor atau kasar yang tidak memuliakan nama Tuhan. Terima kasih atas perhatiannya. Salam Revival!
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.