Oleh: Bp. Peter B. K.
(Tulisan ini saya buat bukan sebagai seorang pengamat politik
ataupun pakar dalam bidang tertentu melainkan hanya sebagai kegelisahan
seorang anak bangsa dan seorang hamba Tuhan melihat kondisi bangsa yang
suram saat ini. Dalam keterbatasan inilah, saya memberanikan diri
menyampaikan pandangan yang singkat ini).
Sejak dilaporkannya
Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta sekaligus calon gubernur
DKI periode 2016-2020, oleh Ketua Pemuda Muhammadiyah karena tuduhan
penistaan agama kepada pihak kepolisian, saya mengikuti hampir setiap
hari perkembangan kasusnya beserta setiap peristiwa yang terjadi
sehubungan dengan masalah ini.
Beberapa hari sebelum terjadinya
demo 4 November 2016, saya sudah mengambil kesimpulan alangkah baiknya
jika Bapak Ahok mengambil keputusan untuk mundur saja dari pencalonannya
sebagai gubernur yang akan datang. Saya berpikir bahwa itu merupakan
langkah terbaik bagi semua pihak, menenangkan kondisi sekaligus
menunjukkan ketulusannya untuk menyelesaikan masalah ini lebih dahulu
serta tidak memberikan kesan bahwa jabatan atau kekuasaan adalah
prioritas utama hidupnya sehingga harus diperjuangkan di atas segalanya.
Sayangnya, dalam perkembangan selanjutnya saya menemukan kabar
bahwa beliau rupanya tidak mau mundur karena alasan bahwa jika mundur
maka dirinya maupun parpol² pendukungnya (yang diwakili ketua²nya
masing²) akan dipidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun sampai
maksimal 6 tahun dan diharuskan membayar denda sebesar minimal 2 milyar
rupiah sampai maksimal 50 milyar rupiah (pasal 191 UU no 8/2015 tentang
Pilkada). Dari situasi ini saja, posisi sang calon gubernur petahana,
sudah sangat sulit. Jika ia maju terus maju konflik horisontal siap
menghadang. Sedangkan untuk mundur, denda besar dan penjara siap
menanti. Itu sebabnya ada berita bahwa Ahok lebih memilih masuk penjara
karena penistaan agama daripada mundur (setidaknya penistaan agama
hukuman pidananya lebih ringan dan denda sedikit saja).
Dari sini
saya mulai merasa ada sesuatu yang janggal berkaitan dengan majunya
beliau sebagai Gubernur Jakarta yang didukung partai² politik yang ada.
Antara lain:
Antara lain:
1. Dukungan PDIP, partai besar yang semula elite-nya sangat keras
menolak bahkan antipati pada Ahok, berbalik memberikan dukungan sebagai
calon gubernur di menit² terakhir. Saya semula yakin bahwa ini merupakan
keputusan orang² nasionalisme yang ingin memperjuangkan ideologi dan
idealisme bangsa yang sedang dibayang-bayangi paham garis keras
tertentu. Dalam perkembangannya hingga saat ini ditulis, keyakinan saya
semakin memudar digantikan keraguan yang semakin membesar.
2.
Pada saat pengambilan nomor urut calon, belum ada satu analisispun yang
bisa menerangkan mengapa pidato atau sambutan singkat calon gubernur
dari nomor urut 2 yaitu pasangan Ahok-Djarot, tidak disampaikan oleh
Cagubnya tetapi oleh cawagubnya. Meskipun semua bisa menduga², saya
tetap merasa ada yang janggal dengan hal itu apalagi jika dibandingkan
dengan pasangan calon lain yang tampil berdua di belakang podium.
3. Ketika kasus penistaan agama mulai merebak dimana² ditambah demo
besar-besaran 411 sebagai puncaknya, saya tidak melihat ada upaya²
pembelaan yang kuat dan sama giatnya dari pihak parpol² pendukung Ahok
terhadap pihak yang menghendaki dihukumnya Ahok atas penistaan agama.
Ini saya ukur dari postingan² beritasendiri , artikel² di media sosial,
pembicara² parpol pendukung di acara wawancara televisi sampai
pernyataan ketua² parpol pendukung itu sendiri. Saya bisa keliru, akan
tetapi sikap dan respon yang ditunjukkan parpol pendukung lebih seperti
suatu kegamangan daripada keyakinan akan calon gubernur yang diusungnya
tsb.
Dengan adanya peraturan dimana calon gubernur yang sudah
ditetapkan sebagai kontestan pilkada tidak boleh mengundurkan diri
selain bersedia menanggung hukuman pidana dan denda maka jalan
satu-satunya ialah terus maju sebagai cagub sambil mengikuti dan
menantikan proses hukum. Dalam jangka waktu dekat, yang dimungkinkan
ialah tahap penetapan tersangka sedangkan pengadilan sangat mungkin
digelar pasca pilkada. Jika hasilnya Ahok tidak menjadi tersangka, tapi
kerusuhan horisontal terus membayangi kian dekat bahkan dapat meletus
sewaktu-waktu mengingat situasi yang terus memanas.
Jika Ahok tersangka, maka ada dua kemungkinan: ia menang pilkada atau kalah pilkada. Baik menang atau kalah pilkada, Ahok harus menjalani persidangan dan menunggu vonis pengadilan. Kemungkinan vonis pun ada dua, Ahok bersalah atau tidak. Jika dipandang tidak bersalah, maka keributan dan aksi² demo dapat kembali berlanjut oleh sebab tujuan utama memang menurunkan Ahok dari kursi Gubernur Jakarta. Jika akhirnya diputus bersalah, maka Ahok harus masuk penjara dan mengundurkan diri sebagai gubernur Jakarta. Posisinya akan digantikan wakilnya, Djarot Saiful Hidayat.
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan,
apapun keputusan pengadilan nantinya, kerugian besar pasti diderita oleh
Ahok. Seolah membenarkan pandangan beberapa orang bahwa Ahok telah
diperalat oleh partai² politik dimana partai apapun yang memenangkan
pertarungan pilkada ini, Ahok tidak akan termasuk di dalamnya.
Bagi saya, ini merupakan permainan politik yang sangat kotor dan licik.
Saya tidak percaya bagaimana mungkin permainan semacam ini dilakukan di
Indonesia terhadap orang yang, yang menurut pendapat saya, tulus ingin
mengadakan perubahan atas Indonesia. Dimana agama, perundang-undangan,
media massa, media sosial, pengaruh dan jabatan² politik dan
pemerintahan yang ada digunakan hanya untuk perebutan kekuasaan di
tingkat elite semata tanpa melihat perlunya perubahan drastis bagi
bangsa ini. Bahkan sudah sejak awal kita juga tahu bahwa sasaran utama
semua ini ialah jatuhnya presiden Jokowi, yang juga sejak semula tampil
dengan niat tulus mengadakan perubahan di Indonesia namun hingga kini
terasa masih sukar memperoleh dukungan bahkan oleh partai pengusungnya
sekalipun.
Memikirkan keadaan² ini, hati saya menangis merenungi
betapa merosotnya manusia² Indonesia. Tidak tampak kebenaran sejati yang
diperjuangkan namun keadilan diperjualbelikan. Tidak terlihat kesatuan
dan kepentingan bersama tetapi perebutan demi perebutan demi kepentingan
pribadi atau golongan. Sukar menemukan kejujuran dan ketulusan namun
banyak terasa kelicikan, kebohongan, pemutarbalikan fakta dan permainan²
kotor yang terselubung.
Saya bukan pendukung Ahok. Saya hanya
simpatisan saja. Simpatisan terhadap siapa saja yang bermaksud memimpin
untuk mengadakan perubahan atas bangsa kita yang telah jauh ketinggalan
dari bangsa lain.
Itu sebabnya saya mendukung proses hukum pada setiap oknum yang terbukti hendak mengacaukan dan merusak kesatuan bangsa demi ambisi² pribadi.
Dan, mengingat kondisi yang saya
paparkan di atas, saya percaya bahwa langkah terbaik bagi Basuki T
Purnama ialah mundur dari pencalonannya untuk menghindari dampak² sosial
yang serius dan benturan yang lebih besar yang membawa korban dan
kerusakan yang masif antar kekuatan di negeri ini sekaligus menarik diri
dari permainan² politik yang tidak membawa banyak manfaat bagi
kepentingan rakyat secara keseluruhan. Ditolaknya Ahok sudah pasti akan
membawa kerugian yang besar pula. Khususnya bagi rakyat Jakarta yang
kehilangan kesempatan dipimpin oleh pejabat yang bersih dan mumpuni. Di
atas semuanya, kebangsaan kita tercederai dan demokrasi kita dipastikan
mengalami kemunduran.
Lebih dari semuanya, bagian saya ialah
membayar harga doa dan harga ketaatan pada Tuhan saya, Yesus Kristus
demi pemulihan Indonesia tercinta. Apapun yang sedang terjadi, Tuhan
Yesus mengasihi Indonesia dan akan melaksanakan rencana-Nya dengan waktu
dan cara-Nya yang dahsyat dan ajaib.
Mari bersama-sama menjadi garam dan terang bagi Indonesia.
Salam revival
Indonesia penuh kemuliaan Tuhan!
PESAN TUHAN TERKAIT BAPAK BASUKI TJAHAJA PURNAMA DAN PERISTIWA 4 NOVEMBER 2016
memang bodoh dan ga tau dirinya rakyat indonesia.. mudah diperalat oleh agama untuk kepentingan politik lawan
BalasHapus