- GEREJA ADALAH ORGANISME HIDUP, BUKAN LEMBAGA STATISTIK
Perintah pertama Allah yang diberikan kepada manusia tidak ada hubungannya dengan buah pohon atau merawat taman. Perintah itu lebih mendasar, telah diulang dan tidak pernah dicabut. Sesungguhnya, orang berdosa yang paling jahat telah menaati perintah ini. Allah berkata, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi" (Kej. 1:28; 9:1,7). Ia telah memberi perintah yang sama kepada gereja (Kis. 1:8).
Kebanyakan metafora dan penjelasan tentang Kerajaan Allah dan gereja dalam Perjanjian Baru menggunakan konsep alam untuk identifikasi dan deskripsi: tubuh, mempelai, cabang pohon, ladang yang menguning, biji sesawi, keluarga, kawanan domba, ragi, garam dan terang. Ketika Perjanjian Baru menggunakan bangunan sebagai metafora gereja, ayat itu dengan segera menambahkan bahwa bangunan itu terdiri dari batu-batu hidup (1 Ptr. 2:5).
Kita bisa melakukan jauh lebih baik kalau pemimpin-pemimpin di gereja belajar dari petani daripada belajar dari CEO perusahaan. Sekarang waktunya untuk melihat bahwa gereja dimulai di ladang, bukan di gudang (Ams. 24:27). Kita menghabiskan banyak waktu membangun gudang yang bagus dengan bangku gereja yang dilapisi bantalan yang empuk, gedung ber-AC, dan sound system canggih, namun kita mengabaikan ladang-ladang. Kita sama bodohnya seperti petani yang membangun gudang dan kemudian berdiri di depan pintu memanggil semua tuaian untuk masuk dan membuat diri mereka kerasan. Sekarang waktunya bagi gereja untuk membiarkan tangannya kotor di tanah kehidupan jiwa-jiwa yang terhilang.
Sedikitnya empat kali, Alkitab berkata dengan jelas bahwa Allah tidak tinggal di bangunan yang dibuat tangan manusia. Tempat kediaman pertama yang dirancang Allah untuk diri-Nya adalah rumah yang mudah bergerak (tabernakel) karena Ia ingin bergerak bersama umat-Nya. Daud berjuang untuk membangun rumah yang lebih permanen bagi Allah tetapi ia tidak diberi izin. Akhirnya, anak Daud, Salomo membangun bait Allah untuk pertama kalinya. Saat penahbisan, Salomo berdiri dalam bayang-bayang bangunan yang megah itu dan berkata, "Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini." (1 Raj. 8:27).
Yesaya 66:1 menyatakan dengan jelas: "Beginilah firman TUHAN: Langit adalah tahta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku; rumah apakah yang akan kamu dirikan bagi-Ku, dan tempat apakah yang akan menjadi perhentian-Ku?"
Ketika membaca Kisah Para Rasul, kita akan menemukan salah satu adegan paling penting dalam sejarah Kerajaan Allah. Stefanus ditemukan memberitakan Injil kepada sekelompok pemimpin Yahudi di bawah bayang-bayang bait suci lain yang mengagumkan; bait suci ini dibangun Raja Herodes untuk memenuhi tuntutan orang-orang Yahudi. Ia mengutip sebagian besar ayat-ayat Alkitab Perjanjian Lama untuk audiensinya yang penuh perhatian, ketika ia akhirnya berkata, "Tetapi yang Mahatinggi tidak diam dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia" (Kis 7 : 48). Ia mengutip kata-kata nabi Yesaya. Ia melanjutkan dengan menyebutkan dalam ayat 51, "Hai orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu." Setelah mendengar ini, orang banyak menjadi begitu marah sehingga mereka mengambil batu. Atas seizin Saulus, mereka mengeksekusi Stefanus di sana, di tempat itu juga. Peristiwa ini menjadi awal gerakan yang dirancang Allah untuk membuat gereja-Nya tersebar (desentralisasi) melalui penganiayaan.
Pada Kisah Para Rasul 17, kita akan menemukan Saulus, yang sekarang disebut Paulus, berkhotbah di depan filsuf Atena, golongan Stoa di Bukit Mars. Mereka adalah audiensi kafir yang tidak mengenal Perjanjian Lama. Pun demikian, dalam bayang-bayang bait suci agung yang masih berdiri sampai saat ini - Parthenon di Akropolis - ia berkata, "Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan napas dan segala sesuatu kepada semua orang" (Kis 17 : 24-25).
Yesus tampaknya tidak punya rencana untuk mendirikan bangunan. Suatu hari, Ia berjalan dekat bayang-bayang bait suci Herodes yang indah dan murid-murid menegakkan leher mereka, terpikat oleh keagungan bangunan itu. Mereka berpikir, "Tentu Allah tinggal di sini!" Dalam Markus 13 : 1 kita membaca, "Seorang muridnya berkata : "Guru, lihatlah betapa kokohnya batu-batu itu dan betapa megahnya gedung-gedung itu!" Yesus tidak terkesan. Dalam ayat berikutnya, ia menjawab dengan nubuat yang terkenal, "Kaulihat gedung-gedung yang hebat ini? Tidak satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan." Dan benar, tahun 70, pasukan Roma menghancurkan bait Allah sedemikian rupa sehingga tidak ada satu pun batu yang dibiarkan terletak di atas batu lainnya.
Perlu dicatat bahwa gereja mula-mula tidak memiliki bangunan selama tiga ratus tahun lebih. Teman saya, Thom Wolf, mengajar para penanam gereja saat ini menempatkan rencana pembangunan tiga ratus tahun kemudian dalam strategi penanaman gereja mereka. Mengutip fakta bahwa gereja tidak memiliki bangunan sampai abad keempat dan berhasil dengan baik, ia menyatakan bahwa fase pertama dari proyek pembangunan muncul setelah menyelesaikan tiga ratus tahun. Mari tempatkan pandangan ini dalam sudut pandang kita. Tiga ratus tahun lalu, musafir mulai muncul di Amerika. Sesuatu berubah dalam pendekatan kita ketika secara sadar kita menunda saran untuk membangun selama paling sedikit tiga ratus tahun. Saya terkesan pada gereja Rick Warren. Meskipun jumlah jemaatnya telah bertumbuh menjadi ribuan, Rick Warren menunggu lima belas tahun sebelum gereja Saddleback membeli tanah dan mulai mendirikan bangunan pertamanya. Bayangkan rencana yang akan berjalan selama tiga ratus tahun sebelum Anda memulai fase pertama proyek pembangunan, kemudian Anda sungguh-sungguh tidak membutuhkan bangunan sama sekali. Saya menyarankan jika kita bisa membayangkan bagaimana menjalankan gereja tanpa membutuhkan bangunan, kita lebih baik tidak usah membangun gedung.
Bangunan itu tidak salah atau amoral. Bukan bangunan yang merupakan masalah sesungguhnya. Sayangnya, kita sering memulai fungsi seolah-olah bangunan gereja adalah sumber kehidupan. Meskipun tidak satu pun dari kita mengakui hal ini secara terbuka, kita merasa bahwa kita membutuhkannya, seolah-olah kehidupan kita tergantung pada hal itu. Banyak gereja terus berlanjut lama setelah jiwa di gereja itu pergi karena bangunan itu sendiri membuat mereka terus berjalan. Bangunan bisa menjadi sistem pendukung kehidupan buatan yang menjaga gereja tetap hidup meskipun ia sudah lama mati.
Tidak sulit untuk membayangkan delapan orang berambut putih yang bertemu setiap hari Minggu di bangunan tua yang harganya jutaan dolar yang bisa menampung ratusan orang. Mereka melanjutkan tugas keimanan gereja dan kemudian pulang ke rumah. Bangunan itu tetap kosong sepanjang minggu sampai delapan orang yang sama datang lagi... pada waktu yang sama, di tempat yang sama. Adegan ini dimainkan di seluruh AS setiap minggu -- di pojok jalan yang berbeda di kota yang berbeda, tetapi bagaiman pun, adegannya sama.
Seseorang suatu kali berkata bahwa kita membentuk bangunan kita dan kemudian bangunan itu membentuk kita. Bukan sekadar fakta bahwa bangunan, selain menghambat pertumbuhan kita, ia juga menghambat pemahaman kita tentang Kerajaan Allah. Pikiran dan juga tindakan kita bisa terbelenggu di balik empat tembok yang bernama gedung.
Sesungguhnya Anda tidak membutuhkan bangunan agar tidak terikat pada pemikiran ini. Sebelum kami memulai AMG, teman dan rekan sekerja saya, Paul Kaak, menceritakan pengalaman ketika berkunjung ke India untuk melihat gerakan penanaman gereja. Dalam usaha menghindari semua jebakan kelembagaan, salah satu gerakan yang ia kunjungi menolak memiliki bangunan sendiri. Sesungguhnya, gereja-gereja menandatangani kontrak yang menyatakan bahwa mereka tidak akan memiliki properti sama sekali. Kalau mereka memilikinya, mereka harus meninggalkan gerakan ini. Ini sangat ekstrem, tetapi saya yakin mereka memulai tradisi ini karena alasan yang benar.
Namun, kita bisa memiliki pikiran kelembagaan meskipun tanpa tembok, kantor, atau staf. Gereja khusus di India ini sering berkumpul di luar. Jika berkumpul, mereka akan menggelar karpet. Salah seorang pemimpin menceritakan kepada Paul, setelah kebaktian anak-anak selesai, mereka semua berlari-lari dan bermain. Kebetulan, seorang anak berlari melintas permadani di mana mereka berkumpul. Orangtuanya menangkapnya dan dengan tegas memberi tahu dia, "Jangan berlari melintas gereja!" Problem kita bukan pada batu bata dan semen; melainkan pada pikiran kita.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon TIDAK menggunakan kata-kata kotor atau kasar yang tidak memuliakan nama Tuhan. Terima kasih atas perhatiannya. Salam Revival!
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.