Oleh: Peter B,
“Pada keesokan harinya Yesus memutuskan untuk berangkat ke
Galilea. Ia bertemu dengan Filipus, dan berkata kepadanya: “Ikutlah Aku!”
Filipus itu berasal dari Betsaida, kota Andreas dan Petrus.” (Yohanes 1:43-44)
Salah satu illustrasi terbesar yang pernah di sampaikan
oleh Yesus diceritakan dalam bentuk berseri. Perumpamaan itu mempunyai tiga
bagian cerita. Tidak bersambung memang, tetapi berhubungan erat satu sama lain.
Ketiga-tiganya luar biasa dan ketiga-tiganya mengejutkan kita semuanya. Anda
mungkin sudah menebaknya. Benar sekali, itu adalah trilogi perumpamaan dalam
Lukas 15: perumpamaan tentang domba yang hilang, dirham yang hilang, dan anak
yang hilang. Ketiga perumpamaan itu juga mengandung unsur kisah yang sama, yang
menggambarkan kepribadian Bapa. Dan dapat dikatakan itu di luar akal sehat
manusia kita ini.
Bayangkanlah sekarang bagaimana seorang gembala lebih tega
meninggalkan kesembilan puluh sembilan ekor domba yang lain demi mengejar yang
satu. Bukankah seringkali orang berpikir, “Hilang satu biarlah, kan masih ada
yang Sembilan puluh Sembilan yang lain.”? Pikirkanlah bagaimana mungkin satu
dirham yang hilang dicari sedemikian rupa dan kemudian saat satu dirham itu
ditemukan, pemilik dirham itu mengadakan pesta perayaan dengan
tetangga-tetangganya. Bukankah seringkali orang banyak lebih condong untuk berkata,
“Sudahlah, dirham hilang dan ditemukan saja kok pakai pesta segala.”? Dan
renungankanlah pula apakah dapat diterima oleh akal sehat apabila bapa yang
kaya itu, yang memiliki harta benda, bisnis yang maju, fasilitas dan kemewahan
hidup, bahkan anak yang lain namun nyatanya ia masih saja tiap-tiap hari
menunggu di depan pintu rumahnya menantikan kalau-kalau anaknya yang durhaka
dan murtad itu kembali. Bukankah banyak orang tua yang mengusir anaknya jika
mereka berbeda pandangan satu sama lain? Bukankah ada bapa-bapa yang tidak
peduli anaknya mati, minggat atau tanpa kabar terlebih lagi jika anak itu telah
bersikap sangat kurang ajar dan melawan kebaikan dan otoritas yang sang bapa?
Adakah bapa yang dengan setia menangisi dan mengharapkan anaknya yang pemberontak
itu pulang? Jikalau ada, itu pun harus digolongkan sebagai tindakan-tindakan
yang di luar logika manusia. Itu bukan lagi rasional tetapi emosional. Demikian
saat Yesus mencari Filipus.
Setelah berkenalan dengan Andreas dan Petrus, Yesus
dipimpin oleh Roh untuk berangkat ke Galilea. Di sana Ia mencari dan akhirnya
menemukan seorang yang bernama Filipus. Yesus mengucapkan kalimat ajakannya
yang terkenal itu, “Ikutlah aku,” dan Filipus pun bersedia. Banyak pelajaran
berharga dari perjalanan Yesus ke Galilea untuk menemukan Filipus ini. Sikap
seorang penyembah sejati yang diperagakan oleh Yesus akan menjadi obyek
perenungan kita kali ini.
Ada beberapa perbedaan antara bagaimana Andreas, Petrus dan
Filipus mengenal Kristus. Andreas mengikut Yesus karena Ia tertarik pada Yesus
setelah mendengar gurunya, Yohanes Pembaptis banyak bersaksi mengenai Yesus.
Andreas berbekal kerinduan, meskipun agak malu-malu, mengikuti Yesus dari
belakang, berkenalan denganNya dan akhirnya sempat bertandang ke rumah Yesus. Petrus
hampir sama dengan Andreas. Bedanya, Petrus mendengar dan kemudian mengenal
Yesus dari saudaranya, Andreas. Petrus diajak dan Ia bersedia untuk berjumpa
dengan Yesus. Filipus lain lagi. Jika yang lain bergerak atas inisiatif sendiri
berusaha mengenal Yesus, Filipus sebaliknya. Ia tidak beranjak dari tempat di
mana ia tinggal atau berada. Mungkin saja ia telah mendengar tentang Yesus dari
kabar orang banyak. Bisa jadi ia sudah diajak oleh teman-temanya atau bahkan
Andreas dan Petrus pernah mengajaknya karena mereka satu desa untuk bertemu
dengan Yesus. Tetapi Filipus seperti tidak tertarik atau kurang berminat. Yang
pasti ia kurang merespon kehadiran Yesus.
Apabila melihat pengalaman Yesus bersama Filipus di
kemudian hari kita dapat mengetahui beberapa hal tentang dia. Filipus adalah
salah satu murid yang paling kurang tanggap. Filipus sering sekali menggunakan
cara berpikirnya sendiri lebih daripada cara berpikir Tuhan. Beberapa penafsir
setuju apabila dikatakan bahwa Filipus adalah seorang yang lamban cara
berpikirnya. Dapat dikatakan ia seorang yang agak bodoh. Jawaban atau
pertanyaan Filipus kepada Yesus hampir selalu terdengar konyol, yang
menunjukkan kurangnya pengertian. Satu kalimat teguran dari Yesus ini mungkin
dapat mewakili keseluruhan karakter Filipus, “Telah sekian lama Aku
bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku” (Yohanes 14:19).
Jadi, selama hampir empat tahun, dan setiap hari, Filipus bersama-sama Tuhan,
namun ia masih juga tidak mengenal Yesus.
Saudara-saudaraku yang kekasih, terhadap orang seperti
Filipus ini, Yesus mengadakan pendekatan yang berbeda. Filipus yang lamban
berpikir, kurang cepat menangkap kejadian-kejadian sekitarnya, rupanya tidak
mudah tangkap terhadap keberadaan Yesus yang digembar-gemborkan oleh Yohanes
Pembaptis yang adalah pengkhotbah tersohor masa itu. Ya, Filipus dicari oleh
Yesus. Yesus datang padanya. Mengajaknya. Memanggilnya. Apakah ini terdengar
seperti kisah yang pernah Anda dengar atau baca? Ya, Yesus adalah gembala yang
mencari domba.
Domba yang lamban tidak pernah ditinggalkan oleh gembala
yang baik. Yesus tidak pernah berkompromi dengan dosa atau pelanggaran, tetapi
mereka yang lemah dan kurang kekuatan tidak pernah ditinggalkanNya. Buluh yang
terkulai tidak akan di patahkanNya, kata firman. Juga sumbu yang hampir pudar
nyalanya tidak akan Ia padamkan, begitu kata nubuatan. Yesus tidak pernah
menghinakan mereka yang lemah; justru Ia sangat mengasihi mereka. Yesaya
bernubuat dan berkata, “….anak-anak domba itu dipangkuNya…” (Yesaya 40:11).
Juga Yehezkiel, nabi itu, menyampaikan perkataan Allah sendiri, “Dengan sesungguhnya
Aku sendiri akan memperhatikan domba-dombaku dan akan mencarinya…. Aku sendiri
akan mengembalakan domba-dombaKU…. Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan
Kubawa pulang, yang luka akan Ku balut, yang sakit akan Kukuatkan,
serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka
sebagaimana seharusnya” (Yehezkiel 34:11, 15-16).
Di sini kita belajar banyak hal dari teladan Tuhan. Sebagai
orang-orang Kristen kita kurang diajar untuk menghargai orang lain. Standrad
kita sebagai gereja Tuhan seringkali sama sekali mirip dengan ukuran-ukuran
yang dipakai oleh dunia yang sedang terhilang ini. Kita masih mengukur orang
berdasarkan statusnya di masyarakat; kita masih lebih menghormati orang yang
kaya; kita lebih antusias mendengarkan orang-orang yang memiliki gelar
pendidikan yang tinggi; kita cenderung menghargai orang lain berdasarkan
kelebihan-kelebihannya. Sebaliknya terhadap mereka yang tidak cendekia, yang
kurang bagus dalam pemandangan mata, yang tidak berpikir secepat diri kita,
tanpa sadar (mungkin karena telah mendarah daging) kita cenderung meremehkan
mereka. Golongan orang-orang seperti Filipus pada masa ini adalah golongan
masyarakat kelas bawah, tidak terpandang, tidak memiliki potensi apapun. Bagi
kebanyakan orang, mereka tidak terlalu ada gunanya. Namun tampaknya pandangan
itu bukanlah pandangan yang dianut Tuhan dan Juruselamat kita yang agung, Yesus
Kristus.
Yesus melihat Filipus melampaui kelemahan-kelemahan dan
keterbatasan Filipus. Yesus melihat hati. Ya, suatu hati yang merindukan
keselamatan dan persekutuan dengan Tuhan. Tuhan melihat hati Filipus yang
bersedia mengikut Yesus Kristus tanpa banyak keberatan. Saat Yesus memanggil, “Ikutlah
Aku,” di situlah kita tahu mengapa Yesus mencari dan memilih Filipus. Filipus
mau mengikut Kristus dengan ketulusan. Ini sama sekali berbeda dengan
orang-orang pandai seperti ahli Taurat dan Farisi, yang meminta baptisan dari
Yohanes Pembaptis tetapi tidak sungguh-sungguh memiliki hati yang bertobat.
Filipus jauh memiliki hati yang rindu dan mau untuk mengiring Tuhan lebih dari
orang-orang kaya yang sombong dan berpengaruh. Benarlah apa yang dikatakan
Tuhan dalam suatu kesempatan, “Apakah gunanya kamu memiliki seluruh dunia namun
jiwamu binasa?” Perkataan Tuhan yang lain semakin meneguhkan kebenaran ini;
“Sebab lebih mudah seekor unta masuk lubang jarum daripada seorang kaya masuk
ke dalam Kerajaan Surga.”
Marilah kita memiliki pandangan yang tepat seperti Yesus.
Biarlah itu memimpin kita pada perbuatan yang tepat, berbuah-buahkah kebenaran.
Yang kuat atau yang lemah sama berharganya di hadapan Tuhan. Mari kita belajar
memandang orang lain melampaui kelemahan atau kekurangannya. Tetapi sebagaimana
Tuhan hendak kerjakan dalam hidupnya, demikianlah kita wajib memandang dan
mendukung mereka. Amin.
(Diambil dari warta Worship Center edisi 41 – 18 Oktober
2002)
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon TIDAK menggunakan kata-kata kotor atau kasar yang tidak memuliakan nama Tuhan. Terima kasih atas perhatiannya. Salam Revival!
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.